Pembatasan sosial berskala besar atau disingkat (PSBB) adalah langkah yang diambil pemerintah Indonesia dalam merespon virus covid-19. Maju dengan sebuah terminologi baru di tengah situasi yang gamang seperti ini. Meski sebetulnya sudah ada undang-undang yang mengatur karantina di tengah pandemi, pemerintah sepertinya kurang percaya diri dengan perangkatnya sendiri. Dalam PSBB, pemerintah mencoba beradaptasi sebisa mereka ditengah himpitan ancaman ekonomi dan kesehatan.
Dalam pandangan awam, pemerintah rasa-rasanya terlihat seperti tidak jauh lebih tau dan lebih paham ketimbang rakyatnya. Tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah, inkonsistensi pernyataan penanggung jawab dan bercandaan usang politikus-politikus negri ini berseliweran dari awal bulan Februari. Hingga kini PSBB sudah berjalan, media sosial rasa-rasanya tidak pernah absen menampilkan meme-meme terkait bagaimana negara berflower ini menyikapi virus pandemi global.
Saya yakin pemerintah punya alasannya tersendiri. Tentu alasan apapun itu berhak dipertanyakan oleh kita sebagai seorang konstituen. Sepertinya bukan saat yang tepat untuk dengan sok heroik bicara soal “Apa yang sudah kalian lakukan untuk negri?” Pasalnya bagi beberapa orang ini sudah urusan mati dan mati. Siapa kemudian yang sanggup memilih untuk mati karena virus atau mati karena kelaparan? Dampak dari virus ini melumpuhkan ekonomi. Tidak usah bicara statistik angka-angka memusingkan. Toh, kita sendiri saja atau saya paling tidaknya, sebagai kelas menengah merasakan terkutuknya hidup hari ini. Meski tentu relatif lebih beruntung ketimbang orang lain di luar sana. Perut yang lapar, mulut yang harus selalu tertutup masker dan kontrakan yang sudah nyaris diusir bukanlah kombinasi yang indah untuk telinga dijejali nasionalisme. Lagi pula, tidakkah ini saat yang tepat untuk menagih semua pajak yang sudah kita bayar?
Untungnya selain meme dan komentar yang setengah putus asa setengah naik darah, media sosial untungnya masih menyajikan sedikit harapan. Berita-berita baik masih berseliweran. Meski bersaing dengan berita buruknya. Di tengah masa-masa suram seperti ini, muncul banyak sekali tindakan-tindakan yang tidak terduga. Mengembalikan kepercayaan kita pada kemanusiaan. Di beberapa daerah seperti Bandung dan banyak daerah lain misalnya, muncul gerakan-gerakan swadaya dari masyarakat untuk berbagi. Saling membantu untuk bertahan hidup. Tidak perduli siapapun atau apapun jabatannya. Dari mulai mahasiswa, pekerja kantoran, pekerja seni dan sebagainya. Bantuan bisa dari segi ketahanan pangan, shelter, dapur umum dan masih banyak lagi. Dibagikan juga untuk semua kalangan yang dirasa membutuhkan bukan lagi terjebak dalam narasi “membantu” tapi “berbagi”. Sehingga bukan lagi orang “kaya” dan “miskin”, namun kata kuncinya adalah yang membutuhkan.
Atas nama kemanusiaan, semua orang menanggalkan kelasnya. Meninggalkan atributnya. Melihat permasalahan sebagai sebuah “situasi” yang sedang dialami bersama. Saya rasa, motifnya sederhana : Bila itu bisa terjadi pada mereka, itu juga bisa terjadi pada saya. Empati. Begitulah kemudian kemanusiaan bergeliat muncul dari busuknya situasi seperti hari ini. Virus dan segala macam rentetan kesialan yang mengikuti dibelakangnya tentu tidak pandang bulu. Anda bisa saja seorang CEO perusahaan yang harus menjual asset pribadi untuk bertahan hidup. Bantuan dari petani untuk belajar bertanam demi ketahanan pangan tentu anda butuhkan bukan? Konsep seperti ini saya rasa adalah nyawa dari kehidupan bermasyarakat. Semua dinilai lewat situasi yang dirasa bisa saja menimpa semua orang. Sehingga, setiap orang bertindak bukan lagi atas nama kelas yang ia representasikan, tapi atas situasi yang harus dihadapi.
Satu-satunya hal yang penting hari ini adalah bagaimana kemudian kita semua bisa sama-sama bertahan. Perhitungan yang harus dilakukan adalah kemungkinan terbaiklah yang harus kita jalani. Selain sangat romantis, kemanusiaan memang efektif dan efisien dilakukan di tengah-tengah waktu seperti ini. Kita setidaknya sadar kita masih punya satu sama lain. Selain hanya meme-meme buruk dan komentar-komentar tidak berguna. Saya harap pandemic ini usai secepat mungkin dan hanya menyisakan satu hal saja : Kemanusiaan & solidaritas antar rakyat yang ternyata masih kita semua miliki. Kemudian semoga itu terus tumbuh dan seluas-luasnya menyebar seperti virus ini.
KOMENTAR ANDA