Saya cukup percaya diri mungkin Marcel Tee, vokalis dari Sajama Cut, tidak pernah menjejakan kaki di sebuah jembatan perbatasan antara Kota dan Kabupaten Bandung. Terletak di sebuah kawasan semi slum yang menghubungkan kawasan Cibaduyut ke Dayeuh Kolot, Banjaran dan sekitarnya.
Jembatan ini berdiri dengan jalan tol Cileunyi di atasnya dan jalan Cibaduyut dibawahnya. Persis di sekitaran jembatan itu berjejal sebuah pesantren, kumpulan tukang makan dan satu spot pembuangan sampah yang cukup besar. Sebuah pemandangan yang cukup absurd.
Di tahun 2006-2008 suatu sore biasanya berjalan seorang saya yang masih SMP menuju pulang. Pertimbangan bisa membeli sebungkus djarum super ketimbang naik angkot membuat saya lebih banyak berjalan sekitar 6km ke rumah. Saya hampir tidak pernah berada di jalan tanpa headset menempel di kuping saya. Sebuah kebiasaan yang sampai hari ini saya lakukan. Membuat saya khawatir tentang kondisi kuping saya sebenarnya.
Di kuping saya terputar Fallen Japanese dari Sajama Cut. Album The Osaka Journal melipir di komputer kakak. Tentu saja versi bajakannya. Mendengar Sajama Cut pada tahun segitu tidak dapat dikatakan hipster, edgy atau sebangsanya. Saya rasa karena terminologi itu belum ditemukan. Meskipun bukan pula pilihan teman-teman saya kala itu.
Gelombang underground yang masif terjadi kala itu membuat banyak kawan (termasuk saya) mencintai Burgerkill, Beside, Right 88 di lini metal, metalcore dan progressive metal. Tcukimay, Turtle Jr, Jeruji di lini punk. Alone at Least dan Jolly Jumper di sisi emo yang masif juga kala tahun itu (Menghasilkan gaya rambut tersialan yang pernah saya punya seumur hidup saya). Seringai dan Homicide masih terlalu hybrid seprtinya pada kala itu.
The Osaka Journal selalu punya tempat di flashdisk yang ada jack 3.55mm saya. Entah kenapa. Saya tidak pernah terpapar genre indie rock pada umumnya. Untuk dua alasan. Kakak saya tidak banyak mewariskannya dan kawan-kawan juga tidak menyebarkannya. Saya tidak menemukan The Strokes, Arcade Fire atau Phoenix di komputer kaka saya. Kawan-kawan juga mungkin masih terbatas untuk mengakses band-band macam Artic Monkeys atau Belle and Sbastian. Maklum masalah ekonomi. Beberapa teman saya lebih memilih beli Lem Aibon ketimbang digunakan untuk riset musik di warnet.
2 Gitar, drum, bass dan vokal. Sajama Cut dalam The Osaka Journal menggunakan format sederhana. Setidaknya yang tertangkap kuping saya ya begitu. Distorsi yang minim pada gitar terkesan hanya sedikit saja bumbu. Tidak banyak part solo. Notasi yang juga dinyanyikan tidak juga cempreng (merujuk pada cara Ucay Rocket Rockers bernyanyi) tidak juga ditebal-tebalkan. Keseluruhan album ini meninggalkan kesan yang cukup absurd. Kesederhanaan yang ternyata tahan lebih dari satu dekade di kuping saya.
Setelah cukup dewasa dan bisa menghidupi diri sendiri, seluruh album Sajama Cut saya beli dalam format CD. Semuanya terimakasih pada Taufiq Rahman dan Elevation Recordsnya. Dari album perdana mereka Apologia, The Osaka Journal, Manimal dan Hobgoblin. Membuat saya menyadari bahwa The Sajama Cut tidak pernah punya format album yang sama. Bagi saya Apologia adalah format rock yang liar sekali sementara Manimal terasa eksperimental sekali. Namun yang masih saya ulang setelah lebih dari 15 tahun tetap saja. The Osaka Journal.
Fallen Japanese yang membuat saya bisa teriak “J-rock Who?”. Alibi dan It Was Kyoto Where I Died yang dark atau Idol Cemen yang absurd bercerita tentang bokep Jepang. Lagu Tema sebagai satu-satunya lagu yang bisa saya mengerti 1 dekade lalu karena berbahasa Indonesia. Season Finale yang membuat saya berasa berada di sebuah film indie Jepang Black and White duduk di bus dan berjalan lama. Album ini memberikan pengalaman yang tidak terlupakan tanpa pretensi. Kesederhanaannya justri terpatri di kepala saya.
Kesederhanaan sebelum muncul terminologi hipster dan edgy merusak pengalaman mendengarkan musik saya. Kesederhanaan yang membantah premis saya tentang rich guy indie rock. Kesederhanaan seorang anak SMP yang pulang berjalan kaki meyusuri semi slum area. Dimana permasalahan hidupnya hanya djarum super satu bungkus dan berapa uang patungan sewa studio band satu jam. Untuk kemudian menyadari satu dekade setengah berikutnya, caranya menictai musik bukan dengan memainkannya. Cenderung kurang bakat untuk itu sepertinya.
KOMENTAR ANDA