Masa kecil saya habiskan di suatu kampung di daerah Jakarta Timur. Orang- orang menyebutnya kampung Bidaracina.
Sekitar tahun 1954 orangtua saya sudah menempati rumah disana. Rumah peninggalan orang Belanda yang karena sesuatu hal pulang ke negerinya.
Kompleks perumahan itu hanya terdiri dari sekitar 20 rumah saja. Tapi warganya dari bermacam-macam suku dan agama dan kebanyakan menempati karena pekerjaan orang tuanya masing-masing.
Di tengah kompleks perumahan ada lapangan seluas lapangan bulutangkis. Di sanalah pusat kegiatan anak-anak dan warga diadakan. Yang pasti, hampir setiap malam ada saja remaja dan orangtua yang bermain bulutangkis, dan ada juga yang bermain pingpong.
Suasana keakraban tercipta dari sarana olah raga yang ada. Oleh karena rata-rata keluarga mempunyai anak banyak antara 5 sampai 8 anak. Maka betapa riuh rendahnya jika semua kumpul terutama pada acara tujuhbelas agustusan, sampai berhari-hari dengan segala macam pertandingan. Dan biasanya ditutup dengan malam kesenian dan sekaligus pembagian hadiah.
Peristiwa G/30/S
Peristiwa G/30/S tahun 1965 telah memporakporanda suasana kampung Bidaracina. Ada beberapa kepala keluarga yang diduga terlibat dan ditahan dalam waktu yang sangat lama.
Tidak lama, masuk tentara Kavaleri dari Bandung dan memarkir tank panser di mulut kompleks perumahan. Berbilang bulan lamanya.
Di bagian lain kompleks ada beberapa rumah besar yang dikuasai tentara dan dijadikan markas.
Tak jauh dari markas tentara rumah yang kita ketahui dihuni oleh istri Presiden RI Sukarno dijaga ketat. Rumah itu berhadapan langsung dengan sebuah taman dikenal kemudian sebagai Taman Cornel Simanjuntak.
Waktu itu rata-rata teman sebaya masih seumuran usia Sekolah Dasar. Ingatan kami hanya terbatas pada kesibukan para orangtua ronda malam.
Dan ada keasyikan bermain di atas tank panser, serta akrab dengan tentara.
Suatu waktu kami bermain di markas tentara. Karena saking dekatnya ada teman yang mengambil senjata laras panjang dan secara bercanda menodongkan senjata ke kawan-kawannya.
Berapa orang tentara terkejut dan menghardik anak-anak.
Anak-anak lari ketakutan, loncat pagar, pucat pasi dimarahin tentara.
Berenang di Kali Cipinang
Keasyikan lainnya adalah menonton syuting film di studio Persari. Kadang kita anak-anak diajak mengisi suara film perang. Film yang memerlukan suara anak-anak. Kalau tidak salah berjudul, Si Pincang.
Pada saat adegan kampung dibom melalui pesawat udara, orang-orang kampung berlarian, orang tua dan anak-anak berteriak dan menangis. Si Pincang menangis. “Mak Jepang datang, Mak…”
Kita sebagai pengisi suara berteriak-teriak dan menangis, mengikuti film tanpa suara yang sedang diputar.
Setelah selesai kami keluar dan diberi makan. Betapa senang bisa ikut main film walaupun hanya suaranya saja.
Karena sudah terbiasa main di studio, sekali waktu ada beberapa teman melihat anak-anak berenang di Kali Cipinang dengan melompat dari jembatan kayu yang menghubungkan jalan dan kompleks studio.
Lama kelamaan jembatan menjadi basah oleh air sungai. Sewaktu para karyawan film pulang kerja hendak menyebrang mereka berteriak memarahi anak-anak.
Anak-anak ketakutan dan kabur tanpa mempedulikan pakainnya yang tergeletak di pinggir kali. Jadilah kami pulang ke rumah tanpa baju. Dan di rumahpun kena hukuman dari orangtua masing-masing.
Galahsin dan Petak Umpet
Main galahsin dan petak umpet adalah permainan favorit karena melibatkan anak laki dan perempuan.
Galahsin di lapangan bulutangkis paling menarik. Terutama karena menjaga lawan supaya tidak bisa melewati garis.
Biasanya paling ramai jika ada anak perempuan yang akan melintasi garis. Begitu juga dengan petak umpet. Ada yang bisa berkali-kali kena hukuman.
Permainan-permainan tersebut secara tidak langsung melatih ketangkasan kecerdikan dan juga kerjasama serta keakraban sesama teman.
Dunia Kerja dan Berkeluarga
Setelah berangkat dewasa ada yang terus bekerja, meneruskan kuliah keluar kota, atau juga pindah rumah mengikuti orang tua.
Mulailah perhatian terhadap masa depan masing-masing mengurangi intensitas pertemuan. Bahkan sama sekali melupakan kawan-kawan masa kecil. Masing-masing sibuk dengan urusannya, baik bekerja maupun yang sudah berkeluarga.
Sebagian sudah tersebar di segala penjuru kota dan bahkan di luar pulau. Hampir lupa dengan kawan masa kecil. Kecuali yang orangtuanya masih tinggal di kompleks tersebut
Sekali waktu masih suka ketemu terutama momen Hari Raya Iedul Fitri. Mudik ke rumah orangtuanya di Jakarta ketemu pas Shalat Iedul Fitri di Taman Cornel Simanjuntak.
Setelah itu sibuk dengan urusan silahturahmi keluarganya masing-masing.
Facebook Menyatukan
Dengan adanya Facebook, sekitar tahun 2009, mulai mempertemukan teman-teman masa kecil. Akhirnya secara rutin diadakan pertemuan empat bulanan melalui arisan yang diadakan. Berkumpul kurang lebih 15 sampai dengan 20 orang, dengan jumlah laki-laki dan perempuan yang berimbang.
Rata-rata sudah berkeluarga dan punya anak yang sudah besar-besar. Bahkan dengan semangat gotong royong, pada tahun 2012 bisa mengadakan Reuni Akbar dengan dihadiri kurang lebih 200 orang dari generasi pertama, kedua, ketiga dan keempat.
Kami generasi ketiga, pada saat reuni rata-rata usia di atas 50 tahun. Sebagai penggerak dan penyandang dana secara iuran bersama dari kegiatan reuni tersebut.
Selanjutnya diadakan rekreasi bersama setiap tahun dari group yang diberi label CompA. Polonia, singkatan dari Compleks A Polonia, ke Serang, Djogdja, Bandung dan bahkan ke Malaysia dengan jumlah rombongan sebanyak 18 orang teman masa kecil.
Perjalanan yang Menyedihkan
Empat tahun yang lalu ada seorang teman masa kecil yang sejak SMA sudah pindah ke kompleks tentara di Berlan, Matraman Jakarta. Kebetulan satu SMA dengan saya di SMA Negeri V, Budi Utomo, Jakarta. Hanya bedanya dia kakak kelas. Jika hari libur saya diajak nginap di rumah orangtuanya di Berlan.
Setelah lulus SMA teman tersebut kuliah di Universitas Indonesia dan saya tahun depannya kuliah di Unpad Bandung.
Sejak tahun 1974 komunikasi kami terputus sama sekali. Hanya tahun 1990an terdengar kabar, dia pindah dan kerja serta menikah di Lampung.
Dengan adanya Facebook akhirnya ketemulah dengan kawan tersebut, telah menjadi Ketua Partai Politik, Wakil Ketua DPRD Propinsi Lampung.
Sejak saat itu jika ada tugas di Jakarta, dia menghubungi kita, dan biasanya ada pertemuan. Terakhir disepakati pertemuan diadakan di Lampung, dan jauh hari sudah dibeli tiket pesawat dengan tanggal yang sudah ditentukan.
Beberapa bulan sebelum waktunya,kami kehilangan kontak,dan sama sekali tidak ada kabar berita. Mendekati waktunya, ada kabar dia sakit dan dirawat di Rumah Sakit. Mengingat tiket pesawat dan hotel sudah dipesan, berangkat kami ber-18 ke Lampung, hari Jumat pagi. Langsung kami ke rumahnya.
Keadaan yang mengharukan. Kawan kita hanya terbaring di tempat tidur dan melalui istrinya minta foto bersama dengan kaos seragam yang sudah disiapkan bertuliskan CompA Polonia.
Setelah itu kami ke hotel dengan perasaan tidak menentu. Tepat hari Minggu subuh tanggal 29 Mei 2016 kami diberi kabar, teman kami sudah tiada.
Seolah jauh hari di tanggal yang sudah ditentukan kami ditakdirkan mengantar teman masa kecil ke peristirahatannya yang terakhir. Innalillahi wainnaillaihi rajiun.
KOMENTAR ANDA