Ada pepatah berkata, kalau puasa tidak perlu berkabar. Tapi masalahnya ini puasa pertama dan saya merasa perlu membagi pengalaman ini.
Saya bukan muslim dan puasa tidak ada dalam daftar kewajiban ibadah kami, mereka yang mau berpuasa tentu sangat diperbolehkan, masalahnya saya tidak pernah melaksanakannya. Buat apa, kan tidak wajib, begitu batin saya.
Tapi tahun ini, pandemi menyerang dunia, Italia dan kota Milan tempat saya tinggal termasuk yang paling parah terkena badai wabah. Kota lumpuh selama berminggu-minggu dan kami diam di rumah sejak 23 Februari lalu. Jadi ini sudah hari ke 82 praktis kami di rumah.
Karantina yang berasal dari bahasa Italia, Quarantene berarti 40 hari, merupakan salah satu mekanisme pertahanan dari wabah yang diterapkan kerajaan Venezia sejak lima ratus tahun lalu untuk melindungi kawasan mereka dari serbuan penyakit yang bisa memicu wabah.
Sementara kata yang mengandung arti 40 lainnya adalah "Quaresima" yang merupakan periode 40 hari puasa bagi umat Katolik, memperingati laku puasa yang dilakukan Yesus ketika dalam pencobaan iblis di Padang Gurun.
Quaresima tahun ini, dijalani oleh umat katolik Italia, dalam karantina yang sendu dan bahkan penuh kesedihan karena banyak korban meninggal dan peti-peti mati berbaris bersama air mata yang mengalir seperti air bah dari jutaan pasang mata warga Italia yang hanya dapat menonton proses pemakaman itu melalui televisi. Bahkan keluarga korban tidak diperkenankan menyelenggarakan upacara dan peringatan selamat tinggal kepada mereka yang mangkat.
Tak dinyana, kami harus mengalami karantina total. Saya bukan Katolik, tapi saya kerap mengikuti ibadah katolik dan mendengarkan khotbah para pastur bersama suami dan anak-anak. Pada pekan pertama karantina, misa dipancarkan melalui streaming dari kripta Duomo (ruangan bawah tanah) tempat bersemayam Carolus Boromeous, sang santo pelindung Milan dan tokoh yang berani menangani para pasien miskin yang terjangkit wabah pada abad pertengahan.
Karantina terus berlangsung dan diperpanjang. Paus dari Vatikan memimpin misa Paskah di Basilika Santo Petrus tanpa luapan pengunjung yang biasanya membuat Roma seolah tumpah ruah oleh para peziarah rohani dari pernjuru dunia. Kali ini Roma diguyur hujan dan tampak cahaya lilin-lilin memantul pada ubin marmer di Basilika Santo Petrus yang kosong.
Hari-hari terus berlangsung dalam karantina, kali ini periode memasuki masa ramadhan. Umat muslim di Italia mulai menjalankan puasa dalam karantina, Tetangga saya orang Bangladesh muslim yang membuka toko kelontong sempat saya tanya apa kabarnya dan bagaimana laku puasanya?
ia menjawab dengan tenang : ya kami bersyukur masih boleh tetap beroperasi karena warung bahan pokok memang diberi ijin untuk tetap berbisnis. Selanjutnya dengan ibadah puasa, ya dia tetap komit seperti tahun-tahun sebelumnya, ketika tidak ada wabah. Sudah 20 tahun dia tinggal di Italia dan tak pandang musim apapun dia tetap menjalankan ibadahnya.
Dua pekan lalu, saat misa, Paus menyerukan dengan penuh kelembutan, mari kita semua berdoa, berpuasa dan menyebarkan kebaikan dan memohon pada Tuhan agar wabah ini dapat segera berakhir. Paus menganjurkan agar semua umat beragama pada 14 Mei 2020 serentak berpuasa.
Saya mulai merenung, umat katolik bisa berpuasa 40 hari, demikian juga umat muslim berpuasa 30 hari. Kenapa satu hari saja saya tidak melakukannya? Meski saya bukan katolik, bukan juga muslim.
Lalu saya mulai mengatur strategi supaya komitmen ini bisa berlangsung, sehari sebelumnya saya membeli lasagna untuk makan siang suami dan anak-anak sehingga saya tidak perlu memasak saat puasa. Saya juga menyiapkan beberapa menu sederhana untuk berbuka nanti.
Berhubung tanggal 14 Mei adalah hari ulang tahun pernikahan kami, saya juga sampaikan kepada suami, tahun ini kita tidak akan rayakan dengan menu makan siang spesial karena saya akan berpuasa. Suami saya mengerti dan mendukung niat saya.
Dari teman-teman umat katolik saya dapat referensi berapa jam kira.kira bisa disebut sebagai laku puasa. Saya pilih sahur pukul 08.00 pagi dan membuka pukul 19.00.
Tiba hari berpuasa. Saya coba untuk makan seperti sarapan biasa namun minum air lebih banyak dari biasanya. Selama sehari itu, saya berusaha konsentrasi pada niat saya, sambil mengatur agar energi bisa dipakai efektif. Jam makan siang saya menyuapi dua anak saya, karena sudah tekad, sama sekali tidak ada rasa lapar atau ingin makan.
Suami sempat membuatkan saya secangkir kopi espresso, kebiasaan yang dilakukannya sejak menjalani Work From Home, membuat kopi dua gelas, buat dia dan saya. Saya antusias dan berkata, terima kasih kopinya, ini kepala pusing, mungkin dengan kopi saya akan sembuh. Sejurus kemudian, saya tertawa, saya kan lagi puasa, ya pantas saja agak pusing. Untung kopinya belum saya minum dan suami saya langsung menyambar kopi tersebut. "Saya saja yang minum daripada kamu batal," katanya. Akur.
Pukul 18.00 ada doa bersama serta misa melalui zoom dari Romo Indonesia yang sedang berada di Roma, Mendengarkan renungan dan berdoa bersama. Rasanya sempurna juga, ikut puasa dan ada siraman rohani sebelum membatalkan puasa.
Usai renungan itu, saya sempat bertanya kepada Romo Leo, apa makna anjuran Paus menganjjurkan puasa bersama antar umat beragama di dunia dalam masa pandemi ini, Menurut Romo, itu sebagai cara Paus untuk membuat semua orang merasa sama dan berada dalam bahtera yang sama.
Saya berterima kasih atas jawaban Romo dan kemudian berbuka puasa dan makan malam bersama keluarga. Akhirnya ada juga pengalaman puasa, meski hanya 11 jam.
Pukul 20.00, buka saya juga bertemu dengan zoom dengan sesama warga Indonesia yang muslim, mereka akan berbuka puasa pada pukul 20.48, sebelum berbuka Mbak Titu yang tinggal di Brescia mengatakan pesan Paus agar semua umat turut berpuasa merupakan cara yang baik dalam membangun rasa solidaritas antar manusia. Selain itu tentu saja, selama masa karantina Titu mengatakan Ia lebih banyak menggunakan waktunya untuk berdoa dan beribadah. "Puasa jadi lebih tenang, bisa ibadah, membaca kitab suci dan kadang ada waktu juga untuk istirahat tidur siang," ujarnya.
Kebetulan dalam layar zoom, hadir juga Mbak Toya sekeluarga, mereka dari Bali dan beragama Hindu. Saya tanya bagaimana perasaannya sebagai umat Hindu karena sedunia seolah-olah berhenti sepeti orang sedang laku nyepi, khas ibadah Hindu Bali.
Mbak Toya tertawa, katanya " iya tahun ini nyepi lebih panjang dan sedunia kut nyepi". Ia bercerita keluarganya di Bali terhantam juga karena industri pariwisata sementara ini mandek. Tapi keluarganya menolak menyerah, sekarang mereka berbisnis jualan online sebagai solusi paling cepat dan efisien menghadapi tantangan ekonomi.
Sementara itu, Lindayani yang tinggal di Lissone mengatakan selama karantina lebih banyak menghabiskan waktu untuk memandu anaknya sekolah, sementara Tien sudah kembali bekerja dan memilih menggunakan tram daripada Metro untuk mengurangi kontak dengan penumpang lain.
Bagi saya, puasa pertama ini, tidak akan menjadi puasa terakhir. Saya sekarang memahami, kenapa puasa penting, karena puasa memberi waktu kepada kita untuk berkonsentrasi pada tujuan, mengatur strategi supaya bisa mencapai target dan harapan, serta belajar menjalani proses penantian, hingga pada akhirnya waktu sajalah yang mengijinkan kitauntuk mengakhiri sebuah ikhtiar.
Saya sekarang mengerti kenapa ibu dan tante saya yang tidak memiliki kewajiban berpuasa, tapi sebagai orang Jawa, tetap menjalankan puasa sebagai upaya penyerahan diri dan permohonan kepada yang Maha Kuasa, agar hidup selalu dalam perkenanNya.
Terima kasih Paus untuk imbauannya, terima kasih kepada semua yang sudah mencontohkan pengamalan berpuasa. Saya tidak akan berhenti sampai di sini. Dimasa depan meski tanpa anjuran Paus atau pemuka agama dan tanpa periode bulan suci atau situasi pandemi, saya akan coba lebih sering dan secara mandiri menjalankan laku puasa.
Demikian pengalaman pandemi kali ini, yang menurut saya perlu saya catat sebagai bagian dari perjalanan dan proses menjalani hidup dalam tantangan besar.
Semoga kedamaian alam pikiran, jiwa dan raga yang sehat, bersama kita sekalian.
Salam dari Milan.
KOMENTAR ANDA