Unpad itu, kekasihku...
Bagaimana harus kuutarakan.
Sebuah cita yg tertanam dalam.
Sebuah masa tak berkesudahan.
Tentang negeri dan angan-angan kita.
Kasihku...
Tanpa keberpihakan terhadap ilmu dan kemanusiaan.
Ilmu akan membawa luka.
Waktu yang brlalu menjadi tanya:
Apakah kepalan tangan kita, teriakan kita, telah berarti?
Genangan darah masih terasa basah. Nama-nama pada batu nisan, yang tak bernisan, masih menjadi tanya. Apakah masih punya arti, kasihku?.
Lembar sejarah terus bertambah.
Tapi kita gagap mengartikannya.
Unpad itu, kekasihku...
Adalah medan janji kita.
"Sumpah Mahasiswa" kita.
Hymne yang terus bergelayut di kepala.
Sengat mentari yang menyala hati.
Lalu, sebagian menjadikannya cerita masa lalu.
Sebagian membawanya sampai sekarang.
Dalam aliran darahnya, pada degup jantungnya...lalu teralienasi. Asing.
Ah, semua memang ada resikonya, bukan?.
Kekasihku... Kasihku....
Unpad itu...
Adalah cangkir-cangkir kopi.
Kita reguk dari petang sampai pagi menjelang.
Sambil berbincang tentang kontradiksi, dialektika, developmentalisme, sampai Habermas dan Freire. Juga das sollen, das sein, dan lain-lainnya.
Dan tentang power tends to corrupt? But absolute power corrupt absolutely, tentu saja.
Di lain hari, usai bertentang menyoal strategi reformasi, sebelum ke medan aksi, ada doa-doa yang terpanjatkan:
Semoga Tuhan selalu bersama kita.
Kasihku.. Kasihku...
Unpad itu....
Adalah kau dan aku.
Adalah kita.
Semangat pembebasan yang terus kita nyalakan apinya.
Meski redup. Menolak mati. Melawan diam. Menyulut keberanian. Beranak-pinak.
Berbarislah semangat dan keyakinan itu.
Bukan satu atau seribu.
Tapi tak terbatas dan tak berbatas
Kasihku..
Kekasihku...
Sabarlah
Tersebab kita hidup berkali-kali.
Yang lalu, kini, dan nanti.
Waktu tak menggilas orang-orang sabar.
Waktu tak berkuasa atas orang-orang sadar.
Kasihku...
Kasihku...
Unpad itu...
Adalah anak-anak bangsa.
Masa depan negeri ini.
Yakinlah.
(Bandung, 17 Mei 2020)
KOMENTAR ANDA