Sejak pertama didirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung tahun 1981, lembaga tersebut sudah menangani perkara-perkara besar. Hal tersebut merupakan suatu konsekuensi dari kondisi politik yang mengutamakan pendekatan stabilitas dengan menggunakan cara-cara yang represif.
Di awal berdirinya LBH Bandung, lembaga sudah menangani perkara penembakan kantor polisi yang terletak di Cicendo oleh kelompok jihad, di bawah komando Salman Hafizh. Peristiwa yang menewaskan beberapa anggota kepolisian itu, kemudian disidangkan di Pengadilan Negeri Bandung.
LBH Bandung menurunkan pengacara senior dari Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) Bandung untuk membela para terdakwa, mengingat pada saat itu LBH Bandung secara organisatoris berada di bawah PERADIN Bandung.
Sebelum bergabung dengan Yayasan LBH Indonesia, di bawah kepemimpinan Adnan Buyung Nasution, terdapat beberapa pengacara muda LBH Bandung, saat itu masuk sebagai tim pembela, yaitu; Dindin S Maolani, Agustinus Pohan, Melani, Tuty Dwi Purwita dan Badar Baraba. Saya waktu itu sebagai supporting bersama teman lainnya di Divisi Non Litigasi, terutama kawan-kawan ITB.
Setelah peristiwa Cicendo, timbul perkara penembakan misterius terhadap orang-orang yang diduga sebagai preman atau bromocorah yang terjadi secara nasional, termasuk di Bandung. Hampir setiap hari, LBH Bandung kedatangan orang-orang yang diduga preman, meminta bantuan serta perlindungan.
Beberapa kali terjadi ada orang yang meminta bantuan. Tidak lama kemudian terdengar kabar sudah ditemukan mati dalam keadaan mengenaskan dalam posisi terikat dibuang di kawasan hutan di daerah Lembang.
Sebagai aktivis di bagian non litigasi, pernah tengah malam saya didatangi beberapa orang yang saya kenal, mereka melaporkan salah satu anggota keluarga diciduk orang tak dikenal. Malam itu keliling kantor polisi di sekitar Bandung dan bertemu yang bersangkutan masih hidup.
Pada saat itu kita hanya menduga-duga saja sosok pelaku penembakan misterius yang pada akhirnya diakui oleh Presiden Suharto, sebagai upaya shock terapi meredam kejahatan yang masif terjadi dimasyarakat.
Kasus PIR Bun-Cimerak yang Melelahkan
Perkebunan Inti Rakyat di daerah Cimerak Ciamis adalah proyek prestisius PT Perkebunan Nusantara (PTPN), dengan menetapkan lahan perkebunan rakyat menjadi plasma bagi proyek perkebunan kelapa hibrida. Proyek ini dibiayai oleh Bank Dunia.
Sayangnya dalam pelaksanaan perkebunan cengkeh milik rakyat ditebang, diganti dengan kelapa hibrida. Rakyat pemilik lahan, diberi kredit tanpa ganti rugi terhadap tanaman miliknya. Sebagian rakyat pemilik kebun tidak terima dan mengadu kepada LBH Bandung tahun 1982.
Tim bantuan hukum kasus PIR Bun-Cimerak melakukan advokasi ke daerah Cimerak berkali-kali untuk mendapat informasi serta memberikan penyuluhan langkah-langkah yang harus dihadapi masyarakat dalam menghadapi tekanan penguasa.
Di samping itu LBH Bandung di bawah kepemimpinan Ibu Amartiwi Saleh, berusaha meyakinkan Gubernur Jawa Barat bahwa proyek PIR Cimerak perlu dikaji ulang sehingga tidak merugikan rakyat pemilik lahan.
Sampai saya keluar dari LBH Bandung, kasus ini terus berlanjut dengan keadaan status quo, mengingat kepentingan pemerintah dengan Bank dunia sangat kuat dalam proyek tersebut.
Mengadakan Seminar KUHAP yang Baru
LBH Bandung dengan program-program penguatan masyarakat, secara rutin mengadakan diskusi dengan kelompok buruh, petani, mahasiswa dan juga dengan kelompok profesi hukum.
Terutama dengan konsep Bantuan Hukum Struktural yang dicanangkan oleh Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) untuk masyarakat yang secara struktural termajinalkan dan termiskinkan dari segala aspek, baik informasi, pendidikan, sumber daya maupun kesejahteraannya. Harapan yang pada saat itu tumbuh adalah dengan diundangkan Undang-undang Hukum Acara Pidana UU No 20 tahun 1981.
LBH Bandung melalui Divisi Non Litigasi, saya bersama Hendardi, Umar Juoro dan Mulyana Kusumah dari YLBHI, mengadakan seminar yang pertama di Bandung tahun 1982 tidak lama setelah Undang-undang tersebut diundangkan. Peserta yang hadir cukup banyak terutama dari kalangan pengacara baik dari Bandung maupun Jakarta.
KUHAP yang pada saat itu dipandang sangat maju karena memberikan kepastian dan penghargaan terhadap Hak-hak Asasi Manusia, tentu disambut dengan sangat antusias menggantikan Hukum Acara Pidana warisan kolonial.
Gus Dur & Arif Budiman
Tokoh nasional yang dekat dan pernah mengisi acara di LBH Bandung antara lain adalah Gus Dur, Arif Budiman dan Subadio Sastrowardoyo, di samping sosiolog dan kriminolog yang rajin berdiskusi yaitu Yesmil Anwar, Mulyana Kusumah dan Abdul Hakim Garuda Nusantara.
Yang sekaligus hadir di LBH Bandung juga di grup-grup diskusi mahasiswa, seperti Grup Diskusi Spisko, Unpad, Grup Diskusi Singaperbangsa, dan juga Grup PSIK ITB yang beberapa anggotanya sangat membantu keberadaan LBH Bandung di awal-awal pendiriannya.
Saya bersama teman-teman perintis, hingga lama tetap berada di LBH Bandung, sampai saya kemudian berkarier ditempat lain, dengan masih pada jalurnya yaitu menjadi bagian dari perjuangan para pekerja memperjuangkan hak-hak diperusahaan.
Antara lain, sebagai Ketua Lembaga Kerjasama Bipartit (LKS Bipartit) yang pertama di PT Krakatau Steel dan juru runding berkali-kali setiap ada perubahan dalam setiap perundingan Perjanjian Kerja Bersama di perusahaan.
KOMENTAR ANDA