Atalanta menjelma menjadi kesebelasan yang dahsyat di Italia, setidaknya sejak dua musim terakhir. Musim 2019-2020 saja klub asal Bergamo, Italia ini telah mencatat 70 gol dari 25 laga Serie A atau Liga Italia saja. Bahkan tiga pertandingan di antaranya membuahkan masing-masing tujuh gol. Serta jangan lupakan kemoncerannya saat menaklukan AC Milan lima gol tanpa balas akhir Desember 2019 lalu.
Atalanta selain menghibur juga menjanjikan. Berhasil masuk dalam persaingan ketat Liga Champions Eropa musim 2020 untuk pertama kalinya dalam 113 tahun kiprahnya di dunia sepak bola. Klub ini juga mampu menembus babak perempat final setelah mengandaskan Valencia dengan agregat 8-4.
Namun sungguh disayangkan, virus corona atau COVID-19 menghentikan sementara perjuangan mereka.
Sosok di balik menterengnya nama Atalanta di Eropa saat ini, tak lepas dari sentuhan juru taktiknya, Gian Piero Gasperini. Lelaki berusia 62 tahun kelahiran Grugliasco, Italia itu sebelumnya juga dikenal sebagai pemain sepak bola propesional pada era 70-an hingga 90-an. Klub lawas seperti Juventus dan Palermo pernah memakai jasanya.
Tak puas hanya dengan menjadi pemain di lapangan, ia akhirnya memutuskan untuk menjadi pelatih. Kiprahnya di dunia kepelatihan dimulai saat menangani tim muda Juventus, Genoa, Palermo, hingga Inter Milan. Meski demikian, kariernya mulai terangkat karena kejeniusannya meramu Atalanta sejak 2016.
Perlahan namun pasti, ia mengubah salah satu hiburan publik Bergamo setelah beraktivitas di pabrik menjadi hiburan bagi dunia.
"Saya memasang gambar sekelompok serigala di ruang ganti. Ada serigala yang berjalan di depan, tengah, dan belakang. Satu yang di depan memiliki kelincahan. Di tengah adalah yang terkuat, mereka yang melindungi semuanya apabila diserang. Paling belakang ialah pemimpin, memastikan tidak ada satu pun yang ketinggalan. Pesannya ialah pemimpin tidak harus berada di depan, namun ia memperhatikan semuanya dalam tim. Itu yang saya mau dari pemain saya," ujarnya kepada wartawan Fabrizio Romano dikutip dari The Guardian.
Secara taktis, Gasperini biasanya bermain dengan formasi 3-5-2 atau 3-4-3, meskipun saat di lapangan perubahan atau rotasi selalu berjalan. Permainan si Biru-Hitam selalu penuh tekanan tinggi, pemain pun dituntut untuk tidak malas mencari ruang kosong. Tidak seperti klub Italia kebanyakan.
Banyak yang mengasosiasikan formasinya dengan gaya bermain bertahan ala catenaccio khas Italia. Meski demikian, gaya bermain dengan tiga bek yang sudah ia terapkan sejak melatih tim muda Juventus mampu membuktikan bahwa itu salah. Dulu hingga kini, ia membuktikan bahwa tiga bek tersebut bisa ikut membantu skema penyerangan. Mereka dilatih untuk terlibat dalam menyerang.
"Mencari ruang sangatlah fundamental bagi pemain maka sering saya beritahu mereka: 'Awasi wasit, ia tidak pernah dijaga, oleh karenanya ia selalu berada di posisi ideal untuk melihat pertandingan!' dan Papu (Alejandro Gomez), khususnya, sangat memerhatikan saran ini dan hasilnya sangat membantu permainannya," jelas Pelatih Terbaik Italia Serie A tahun 2019 itu.
Gasperini meramu timnya dari pemain "semenjana" yang datang bukan karena sensasinya. Kapten mereka Alejandro "Papu" Gomez didatangakn dari Metalist Kharkiv dengan kocek 4 juta euro pada tahun 2014. Pemain kunci lainnya Josip Ilicic didatangkan dari Fiorentina seharga 5 juta euro pada 2015. Hingga pemain yang dinobatkan sebagai pemain terbaik Jerman tahun 2020, Robin Gosens dari Heracles seharga kurang dari 1 juta euro.
Nama lain seperti mantan kiper Aston Villa Pierluigi Gollini, mantan gelandang Midlesbrough Marten de Roon, dan pemain pinjaman Chelsea Mario Pasalic kini menjadi pilar kokoh tim berjuluk La Dea ini. Pertahanan mereka juga diperkuat dengan kembalinya bek tengah Mattia Caldara yang kurang kerasan bermain di Juventus.
Bila kita semua memahami Atalanta, terkesan semua pemainnya selalu bermain dengan performa terbaik.
"Ketika kamu mencapai tingkat kedewasaan untuk mengerti bahwa kerja keras membuahkan hasil, kamu tidak akan lagi merasa kelelahan. Jangan selalu berpikir bahwa pemain sepak bola tidak harus berlatih sekeras atlet olahraga lain yang intens dan keras. Saya tidak mau pemain saya memikirkan itu dan harus berlatih lebih keras dari itu," tutunya.
"Kami tidak pernah memiliki sarana untuk investasi besar, oleh karena itu kami harus mencari pemain muda dengan filosopi yang sama: mampu beradaptasi, mentalitas pemenang, berpikiran ofensif, dan mau bekerja keras. Mereka yang percaya pada hal itu adalah bagian dari kami, bagi yang tidak silakan pergi," ucapnya.
Papu Gomez pernah mengatakan bahwa Gasperini melatih pemainnya dengan sangat keras sehingga hari pertandingan seakan bukan hari libur.
"Dengan Papu kami sering berdiskusi tentang beberapa pemain yang tidak bisa mencapai potensi terbaiknya karena tak pernah berlatih dengan baik. Ketika kamu mulai berlatih baik, kamu akan mencapai level terbaik di Eropa. Jika kamu membuang waktumu dengan berlatih maka kamu akan selalu punya segalanya untuk mencapai itu," ungkap Gasperini.
Pemain yang berhasil ia racik adalah Josip Ilicic. Ia berujar bahwa satu tim biasa memanggilnya "Josip si Nenek" karena selalu bersikap baik ke semua orang. Ketika Gasperini mendorongnya untuk terus berlatih hingga mengubah pola pikirnya dalam berlatih kami memanggilnya "Si Profesor". Dia menyadari bahwa sesi latihan itu menyenangkan. Hasilnya, Ilicic mampu menyarangkan lima gol di Liga Champions.
Perjalanan kepelaihannya tidak selalu mulus. Pernah mengarsiteki dengan cukup baik di Genoa, mendapatkan julukan "Gasperson" yang diambil dari Sir Alex Ferguson berkat kemiripan gaya bermainnya. Ia kemudian pindah ke tim besar pertamanya: Inter Milan.
Kendati demikian, Inter Milan yang ia arsiteki tidak mampu memenuhi ekspektasi banyak orang. Melatih kurang dari tiga bulan, gagal memenangkan satu pun laga, lalu dipecat setelah takluk dari Novara.
"Pemecatan saya dari Inter terjadi karena visi saya dengan manajemen yang berbeda. Setelahnya, saya mendapatkan pesan bahwa Pep Guardiola ingin menemui dan mengundang saya untuk melihat sesi latihannya di Barcelona. Itu adalah salah satu momen yang cukup sulit dalam karierku, namun mampu melihat bagaimana pelatih seperti Guardiola dari dekat, Itu membuatku sangat senang," tandas pelatih kelahiran 26 Januari 1958 itu.
Bahkan di Atalanta sekali pun, ia mengalami kesulitan pada awalnya. Di awal musim 2016-2017, timnya mengalami kekalahan empat dari lima laga. Ia bahkan hampir dipecat apabila kalah dari Napoli di laga selanjutnya, untungnya Atalanta menjemput kemenangan tipis dengan skor 1-0.
"Saya memutuskan untuk berubah. Saya mulai menetapkan ide permainan saya dengan segala risiko. Saya memainkan Mattia Caldara, Roberto Gagliardini, Andrea Petagna, dan Andrea Conti, para pemain muda minim pengalaman. Lalu kami memenangkan banyak pertandingan dengan gaya permainan fantastis. Itulah awal dari Atalanta yang bersejarah," kata Gasperini.
"Saya selalu mengatakan kepada para pemain: 'Kita tidak pernah kalah, kita hanya pilih menang atau belajar'," ucapnya.
Baginya, sepak bola tidak hanya dimulai saat mulai berlatih atau saat peluit babak pertama dibunyikan, namun dari tengah malam di rumahnya. Istrinya Cristina berujar bahwa terkadang Gasperini terbangun di malam hari untuk menyalakan komputer dan menulis catatan.
"Dengan komputer atau coretan papan tulis hitam di malam hari, saya selalu belajar mencari solusi untuk pertandingan selanjutnya. Dan saya selalu memulai latihan ketika saya yakin para pemain siap bekerja," ujar Gasperini.
Atalanta dan Gasperini adalah dua unsur yang saling berkaitan, bahkan menempel di ingatan para insan sepak bola khususnya publik Bergamo. Hasilnya, Gasperini dinobatkan sebagai warga kehormatan kota Bergamo, yang juga merupakan bentuk apresiasi tertinggi dari pemerintah kota untuk seorang warganya.
Jasanya membawa Atalanta ke posisi tiga musim lalu, melaju ke final Coppa Italia, dan panen gol di beberapa laga, membuat kita tidak berhenti berdecak kagum. Bila mana di Inggris kita mengenal Leicester City sebagai tim kuda hitam yang menggebrak Premier League, kancah Italia memilki Atalanta.
Apabila kita mengenal istilah "Tak kenal maka tak sayang" untuk membuktikan bahwa kita tidak bisa menyukai sesuatu apabila tidak mengetahuinya. Maka tepat untuk menggunakan istilah "Tak Gasperini maka tak Atalanta" sebagai perumpamaan bahwa kita tidak bisa menyukai Atalanta yang sekarang tanpa mengenal siapa itu Gasperini.
Tidak akan ada Atalanta yang seperti ini tanpa ada andil besar dari rigidnya latihan dan kejeniusan filosofi Gasperini.
KOMENTAR ANDA