“Latihan berbulan-bulan, mengorbankan liburan semester, hasilnya apa? Jangankan berharap ingin menang, daftar aja batal,”
“Coba manajernya masih Kak Fairuz, dijamin hal seperti ini tidak akan pernah terjadi!”
“Jadi gimana, tim ini mau bubar saja?”
Kalimat-kalimat itu selalu mengingatkan saya pada kejadian beberapa bulan belakangan. Boleh dibilang, kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut pelatih dan pemain (yang biasa saya sebut sebagai anak-anak kesayangan) tim futsal kampus saya itu pun sempat sukses melukai hati saya. Meski bagi mereka itu hanya guyonan atau angin lalu belaka, tapi tidak berlaku bagi saya.
Berkat kalimat-kalimat itu, saya merasa dikerdilkan dan tak pernah dihargai. Apa yang saya perbuat selalu salah di mata mereka. Saya selalu dibandingkan dengan manajer terdahulu, bahkan dianggap tak becus mengurus tim ini.
Tapi di balik itu semua, kalimat-kalimat itulah yang juga sukses memicu semangat saya untuk tetap memperjuangkan hak anak-anak kesayangan saya. Sehingga membuat mereka berhasil bertolak ke Malaysia dan mengharumkan nama Unpad di kancah internasional.
Mari memutar kembali ingatan pada beberapa bulan yang lalu…..
Kala itu, saya baru beberapa bulan dipercaya menjadi manajer tim futsal putra Universitas Padjadjaran (Unpad). Saya bersama rekan manajer yang lain, Mabel dan Bella, ternyata harus dihadapkan pada tim dengan kondisi finansial yang sangat sulit.
Padahal, turnamen futsal yang diadakan oleh Universitas Tekologi Mara (UiTM), Malaysia, telah menanti tim futsal putra dan putri Unpad. Penyebab kesulitan finansial ini sampai sekarang masih simpang siur. Salah satunya ada yang mengatakan akibat kelalaian ketua organisasi yang salah memasukkan anggaran.
Apapun penyebabnya, yang jelas pemain dan pelatih tak ingin ambil pusing. Pokoknya yang penting mereka harus tetap berangkat, bagaimana pun caranya. Mereka sudah latihan cukup lama, bahkan mereka rela liburan semesternya dipotong karena harus berlatih. Mereka sampai tak bisa pulang ke kampung halaman. Jelas saja mereka langsung kebakaran jenggot begitu mendengar kabar bahwa mereka terancam batal berangkat.
Selama persiapan turnamen itu, saya yang mengurus mereka seorang diri. Mabel dan Bella menganggap ini sudah menjadi tanggung jawab saya karena turnamen sebelumnya di Yogyakarta sudah diurus oleh mereka. Saya pun bernasib sama dengan anak-anak, harus tetap berada di Jatinangor memastikan seluruh kebutuhan terpenuhi, termasuk kepastian keberangkatan.
Masalah besar pun muncul ketika saya melihat anggaran keuangan dari ketua organisasi. Anggarannya benar-benar tak masuk akal. Mulai dari biaya pendaftaran yang jauh dari sebenarnya, tiket pesawat yang hanya dibiayai untuk kepulangannya saja, hingga biaya konsumsi yang jauh dari bayangan.
Saya pun berusaha memutar otak untuk mencari solusi. Apalagi, anak-anak sudah terlajur mengetahui permasalahan tersebut. Mereka kerap kali menanyakan kepada saya soal nasib keberangkatan mereka. Membuat saya seperti ditekan. Belum lagi alumni dan pelatih yang juga sering kali menanyakan.
Saya mencoba mengajukan proposal sponsor ke berbagai perusahaan, namun tak kunjung membuahkan hasil. Beberapa kali saya terlibat adu argumen dan negosiasi dengan pembina dan pihak Kemahasiswaan Rektorat Unpad. Beberapa kali pula saya mengubah anggaran dan menyesuaikan dengan kebutuhan yang seharusnya.
Hari libur saya menjadi hari-hari yang cukup melelahkan. Setiap hari saya harus bolak-balik ke rektorat Unpad. Sampai tiga hari menjelang keberangkatan pun masih belum ada kepastian. Tiket pesawat masih belum ada dalam genggaman saya. Saya gelisah bukan main.
Di tengah kegelisahan itu, kalimat-kalimat sumbang pun terlontar begitu saja dari pelatih dan juga anak-anak kesayangan saya. Hati saya seketika hancur dan pikiran ingin menyerah pun kerap muncul. Tapi, kecintaan saya pada tim ini ternyata berhasil mengalahkan pikiran-pikiran buruk itu. Saya tetap melanjutkan usaha untuk memperjuangkan hak anak-anak kesayangannya saya. Meski hasilnya masih jauh dari harapan, setidaknya saya berhasil membuat mereka tetap bisa bertolak ke Malaysia.
Luka hati itu masih membekas sampai detik-detik keberangkatan. Sempat terpikir tak ingin ikut berangkat karena kesal pada mereka. Tapi, luka hati itu ternyata tak bertahan lama. Semuanya sirna begitu saya melihat canda tawa mereka yang begitu antusias kala menginjakkan kaki di Bandara Soekarno Hatta.
Entah sudah berapa kali mereka mengucapkan terima kasih pada saya. Bahkan, tak hanya anak-anak kesayangan saya. Tim futsal putri pun juga berhasil berangkat berkat negosiasi yang saya lakukan pada pihak rektorat Unpad.
Sayangnya, kami harus menelan kekecewaan di Malaysia. Anak-anak kesayangan saya harus puas karena hanya menyabet peringkat ketiga. Tapi, mereka buru-buru bangkit dari keterpurukan.
Usai laga yang dianggap ‘pahit’ karena harus pulang dengan tangan hampa, seluruh jajaran pemain, pelatih, serta staf tim telah bertekad untuk mempersiapkan Liga Mahasiswa, dengan harapan menorehkan hasil lebih dari apa yang didapat di Malaysia.
Lagi-lagi, langkah untuk mengikuti Liga Mahasiswa tak berjalan mulus. Bahkan, kerikil-kerikil yang menghalangi jauh lebih besar ketimbang saat ingin bertolak ke Malaysia.
Masalah dimulai pada bulan Agustus 2018. Baru beberapa minggu setelah pulang dari Malaysia, latihan rutin mulai diagendakan sesuai jadwal terdahulu, yakni hari Senin, Rabu, dan Jumat, pukul 19.00-21.00. Namun, belum sempat latihan rutin diadakan, masalah sudah datang.
Ada notifikasi pesan dari aplikasi Line muncul, pesan dari Coach Oskar.
“Saya sepertinya mundur dari tim ini. Silahkan pengurus yang mengeluarkan nama untuk Liga Mahasiswa,” bunyi pesan itu.
Deg!
Kalau ditanya apa yang saya rasakan saat itu, jawabannya jelas, kaget bukan main. Padahal saat di Malaysia, saya merasa tidak ada permasalahan apapun. Hubungan pelatih, pemain, dan staf tim nampak harmonis. Semuanya berjalan lancar meski dengan hasil yang sedikit mengecewakan. Saya yakin ada sesuatu yang salah dan mungkin saja tidak nampak ke permukaan sehingga saya tak dapat langsung menyadari apa kesalahannya.
Lagi-lagi, saya yang harus pasang badan. Nasib mereka seperti berada di tangan saya. Padahal, Liga Mahasiswa adalah salah satu turnamen bergengsi di kancah nasional. Banyak universitas yang ingin merebut gelar juara dalam turnamen tersebut.
Bisa dibilang ini merupakan target utama anak-anak kesayangan saya. Bersama koordinator futsal putra Unpad, Adhim, saya berusaha bernegosiasi dengan Coach Oskar. Namun, negosiasi tak jarang berakhir buntu. Bahkan, beberapa kali kami harus terlibat negosiasi hingga pukul tiga pagi. Tapi, usaha saya dan Adhim ternyata membuahkan hasil. Coach Oskar kembali ke tim hingga Liga Mahasiswa berakhir.
Ternyata, masalah tak berhenti sampai di sana. Masalah finansial kembali muncul. Rutinitas yang saya lakukan saat mengurus turnamen ke Malaysia pun harus kembali dilakukan. Kali ini terasa jauh lebih berat karena masih aktif berkuliah. Saya harus pintar membagi waktu. Ditambah lagi, saya harus mengurus kelengkapan dokumen 20 pemain sebagai syarat untuk mengikuti turnamen.
Satu pemain harus mengumpulkan tujuh dokumen. Tak jarang, saya yang harus bolak-balik ke fakultas mereka untuk mengurus dokumen karena anak-anak kesayangan saya itu paling malas berurusan dengan birokrasi kampus. Bahkan, saking kelelahannya, saya sempat jatuh sakit.
Meski akhirnya berhasil mengikuti ajang Liga Mahasiswa, penderitaan anak-anak kesayangan saya masih saja belum berhenti. Mereka masih harus menanggung derita karena harus tidur berdesakan, beralaskan tikar, serta badan dipenuhi gigitan nyamuk.
Tempat tinggal mereka selama mengikuti turnamen di Tasikmalaya dan Cibitung jauh dari kata layak. Saya pun merasakan hal yang sama, harus tidur di sofa, bukan sofa empuk melainkan kursi yang beralaskan busa seadanya.
Sayangnya, badai yang menerpa ternyata tak sanggup untuk menghancurkan kami. Semakin banyak masalah yang dihadapi, semakin tangguh pula tim ini. Dengan segala masalah yang melanda, anak-anak kesayangan saya akhirnya berhasil mengangkat piala juara Liga Mahasiswa tingkat Regional Jawa Barat.
Selain itu, anak-anak kesayangan saya seolah membayar lunas apa yang sudah saya lakukan untuk mereka. Melalui piala itu, anak-anak kesayangan saya berhasil membayar tuntas seluruh dedikasi saya.
Tak terasa air mata saya menetes tanpa permisi ketika mereka bersama-sama mengangkat piala sambil memamerkan senyum termanis yang pernah mereka miliki. Ah, cengeng sekali saya ini!
Bertahun-tahun menanti, mereka akhirnya berhasil membuktikan bahwa saat ini mereka adalah tim terkuat di Jawa Barat. Bersama saya, mereka berhasil menorehkan sejarah baru yang belum pernah mereka raih sebelumnya.
Seperti yang diketahui, tim futsal Unpad putra baru pertama kali menjadi juara di ajang ini. Sejarah baru nan manis pun kembali terukir karena mereka berhasil menyabet peringkat ketiga di Liga Mahasiswa tingkat Nasional. Sebelumnya, mereka tak pernah meraih gelar di tingkat nasional.
Entah sudah berapa kali saya melewati masa-masa sulit bersama anak-anak kesayangan saya. Pasang surut sudah saya alami bersama mereka, menjadikan saya sosok yang kuat meskipun tetap saja, drama, air mata, dan berbagai keluhan masih sering terlontar dari diri saya.
Titik jenuh saya sudah pernah sampai pada puncaknya. Saya pernah berada di titik di mana kata “ingin keluar” akhirnya terlontar. Tapi, beberapa kali mencoba untuk pergi, saya tetap saja kembali. Lagi-lagi, alasannya hanya karena rindu. Bohong kalau saya katakan bahwa saya tak merindukan mereka. Mana mungkin saya bisa tidak rindu suasana latihan. Mana mungkin saya tidak rindu dengan suasana turnamen, apalagi saat Liga Mahasiswa.
“Ih jangan tidur di kursi atuh teh, Sakit semua nanti badan,”
“Teh gimana? Faza udah ganteng belum? Fotoin dong,”
“Teh minta uang buat beli galon,”
“Makan atuh teh. Mau dibeliin apa? Jangan es krim mulu. Dasar batu!”
“Rul tanyain coach latian jam berapa besok?”
“Ih Adhim tuh teh yang iseng duluan,”
“Teh, pang chat in dosen lah biar bisa UAS”
Sampai yang paling aneh dan membuat merinding.
“Lagi salat kan? Udah salat isya? Jangan lupa baca Al Ikhlas, Al Falaq sama An Nas. Ayat kursi juga sekalian”
“Banyak-banyakin istighfar ya. Kalau ada apa-apa, bangunin kita aja”
Lalu, sederet ocehan-ocehan lain yang selalu membuat saya rindu. Saya dan dua puluh pemain disatukan dalam satu atap selama kurang lebih selama tiga minggu. Mana mungkin mereka tidak membuat saya rindu? Mana mungkin saya mudah melupakannya. Satu yang ingin saya tanyakan, setelah apa yang telah kami lewati, sudah pantaskah kami disebut sebagai keluarga?
Kini, semua seakan dirampas begitu saja dari genggaman saya. Jika dulu saya pernah sampai menangis karena merasa sangat lelah, ingin sekali meninggalkan anak-anak kesayangan saya. dan sering bertanya kapan hari perpisahan itu tiba. Kini, saya justru sering menangis karena tak kuat menahan rindu ingin kembali mengurus mereka.
KOMENTAR ANDA