"Sss-aah, sss-ahh, bagi minum dong!,” ujar Nanda, salah satu pengunjung sebuah acara di Kampus Universitas Padjadjaran (Unpad), Jatinangor, Sumedang. tepatnya di depan Sekretariat Resimen Mahasiwa (Menwa). Wajahnya kemerahan dan berkeringat. Alih-alih menyodorkan minuman, teman-temannya justru menertawakan dirinya.
Nanda terlihat kesal. Sambil setengah berlari, ia berusaha mencari minuman untuk meredakan rasa pedas yang terus menjalar di lidahnya. Teman-temannya pun membuntuti dari belakang sambil tertawa lebih kencang dari sebelumnya.
Nanda adalah satu dari ratusan pengunjung acara Festival Sambal Nusantara yang merasakan sensasi pedasnya sambal dari berbagai daerah di Indonesia melalui stan yang berjejer rapi. Senada dengan Nanda, beberapa wajah pengunjung lainnya terlihat kemerahan dan berkeringat. Bahkan ada yang melompat-lompat sambil menggerutu karena rasa pedas yang sangat. Suasana semakin panas mengingat cahaya matahari begitu terik meski sudah sore hari.
Festival Sambal Nusantara ini pertama kali diadakan pada Kamis, 5 April 2018, oleh Departemen Seni dan Olahraga Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Kema Unpad bekerjasama dengan Paguyuban se-Unpad. Sebelumnya, festival serupa digelar bersamaan dengan acara tahunan Unpad, yakni Olimpiade Olahraga Tradisional (OOTrad).
Namun, menurut Kalifa, salah satu Ketua Pelaksana Festival Sambal Nusantara, tahun ini acaranya diselenggarakan terpisah, mengingat banyaknya keluhan paguyuban karena saat OOTrad, pengunjung kurang tertarik menyambangi stan untuk mengenal lebih jauh tentang daerah mereka.
Dari 30 paguyuban yang ada di Unpad, hanya 18 yang berpartisipasi mengisi stan di festival ini. Sebanyak 12 paguyuban lainnya tidak berpartisipasi karena tidak ada sambal khas dari daerah mereka. Meski paguyuban yang berpartisipasi tak lengkap, festival ini tetap berlangsung meriah.
Dari poster yang disebarluaskan melalui media sosial, festival dimulai pukul 16.00 WIB. Namun, sejak pukul 15.30, pengunjung sudah mulai berdatangan, melihat anggota paguyuban yang sibuk mempersiapkan stan-stan mereka.
Bagus, salah satu ketua pelaksana festival ini pun berinisiatif memanggil tukang es krim yang berkeliling menjajakan dagangannya tanpa ada yang mempedulikannya. Ia pun membeli beberapa gentong es krim dan membagikannya secara cuma-cuma kepada pengunjung yang masih menunggu pembukaan festival tersebut.
“Kasian, bapak-bapak udah tua terus kayak ngga laku gitu. Supaya makin meriah juga bagi-bagi es krim gratis,” ujar Bagus.
Sepertinya panitia festival ini sangat memanjakan pengunjung. Buktinya, tak hanya es krim yang dibagikan cuma-cuma, panitia juga menyiapkan stan khusus berisi 300 tahu dan tempe serta beberapa dus air mineral gelas untuk dibagikan kepada pengunjung.
Alhasil, kurang dari 30 menit, semuanya ludes diserbu pengunjung. Panitia pun sampai harus menyiapkan tahu dan tempe serta air mineral tambahan.
“Sengaja kita sediakan supaya pengunjung bisa mencocol sambal pakai tahu sama tempe biar makin sedap terus airnya juga disedakan kalau-kalau pada kepedesan,” ujar Kalifa.
Berbagai jenis sambal khas Nusantara diperkenalkan pada festival ini. Ada sambal galendo dari Cimahi, sambal iwa teri dari Palembang, sambal sosoy dari Tasikmalaya dan sambal yang mungkin sudah akrab di telinga, dan sambal matah dari Bali.
Meski sambal matah ada di beberapa daerah, anggota paguyuban Bali berdalih bahwa sambal matah Bali ini memiliki ciri khas tersendiri. Minyak yang dipakai untuk membuat sambal matah dari bali ini adalah minyak jelantah atau bekas menggoreng ikan dan jeruk yang dipakai jeruk limo, bukan jeruk nipis seperti kebanyakan sambal matah lainnya.
Meski mengusung sambal sebagai ciri khas utama, festival ini juga memperbolehkan paguyuban daerah untuk memperkenalkan budaya khas daerah lainnya, seperti menyajikan makanan dan minuman khas daerah masing-masing di stan.
Selain itu, festival ini juga memfasilitasi paguyuban untuk memperkenalkan budaya lewat peragaan busana dan berbagai penampilan-penampilan selama festival ini berlangsung. Pasangan perwakilan setiap daerah berlenggak-lenggok menyusuri tengah-tengah barisan stan yang berjejer rapi untuk memamerkan busana khas daerah mereka.
Teriknya matahari kala itu tak menyurutkan semangat mereka. Senyum di bibir pun tetap mengembang meski mata harus terus menahan cahaya matahari yang begitu menyilaukan.
Tak hanya perwakilan paguyuban, panitia pun sepertinya tak mau kalah untuk memamerkan budaya khas Nusantara. Dengan menggunakan pakaian nuansa batik, dan menyanyikan lagu dangdut, mereka seolah ingin menunjukkan kecintaannya terhadap budaya Nusantara.
Seolah bersahutan, perwakilan di panggung asyik menyanyikan lagu Sambalado Ayu Ting-Ting, di stan Minang pun sayup-sayup terdengar lagu Sayang Via Vallen, yang uniknya dibawakan dengan bahasa minang. Pengunjung pun seolah tersihir dan serentak langsung berjoget mengikuti irama lagu, menambah kemeriahan festival ini.
Di sela-sela acara, sayup-sayup terdengar suara percakapan dengan logat yang sangat asing di telinga. Suara itu muncul dari stan dengan asap yang mengepul, seperti stan penjual satai, bukan dari paguyuban. Tiga orang dengan wajah oriental terlihat kebingungan saat berbincang dengan si penjual satai.
Ternyata, mereka adalah beberapa mahasiswi yang sedang melakukan pertukaran pelajar di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad. Biasanya, mereka ditemani oleh mahasiswa dari Bahasa dan Budaya Tiongkok Unpad sebagai penerjemah karena keterbatasan mereka berbahasa Indonesia. Namun, dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata, mereka bercerita bahwa mereka terpisah dengan si penerjemah di tengah kerumunan festival karena terlalu asyik berkeliling stan mencoba sambal.
Mereka sangat ramah. Saat bertemu dengan beberapa orang yang mengajak berkenalan mereka menawarkan satai yang sempat dibeli sambil tersenyum. Namun, saat berbincang dengan mereka, diperlukan kesabaran yang ekstra. Sesekali mereka berbicara dengan bahasa Indonesia yang terbolak-balik atau malah, mencampurnya dengan bahasa mandarin. Meskipun begitu, mereka sempat bercerita mengenai apresiasinya terhadap festival ini.
“Bagus. Banyak Sambal. Suka. Tapi lebih pedas sambal di Cina,” ujar Luis, salah satu mahasiswi asal Tiongkok dengan terbata-bata.
Matahari mulai meninggalkan peraduannya dan azan magrib tak lama lagi berkumandang, tanda festival harus dihentikan sementara. Menjelang malam, bukannya pengunjung meninggalkan tempat, justru semakin bertambah antusiasmenya.
Melihat antusias pengunjung yang begitu besar, hingga berkesempatan dikunjungi oleh mahasiswi asal Tiongkok, Bagus berharap ini bukan lah festival pertama dan terakhir. Kalau sudah bosan dengan sambal, baginya tak apalah yang lain asal setiap tahunnya, festival terus berlanjut.
“Ya tetap harus ada. Tapi, cukup tahun ini aja, ya festivalnya mandiri alias dari kantong sendiri. Semoga selanjutnya pihak-pihak yang seharusnya membantu, ikut turun tangan, terutama di pendanaan,” pungkas Bagus sambil menutup festival malam itu.
KOMENTAR ANDA