Aku kembali teringat ke beberapa bulan lalu, ketika pengalaman membawaku ke kehidupan megapolitan Jakarta. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, magang menjadi kewajiban yang harus ditempuh guna meloloskanku menjadi sarjana.
Karena kewajiban, magang tentunya menjadi waktu yang harus aku maksimalkan untuk menambah wawasan baru daripada sekadar menggugurkan kewajiban. Awal-awal magangku di salah satu media massa termahsyur di Palmerah, Jakarta, dipenuhi dengan jabat tangan, senyum lebar, dan kaku-kaku lucu untuk menyebut sebutan mas atau mbak yang jarang sekali keluar dari mulut Sundaku ini.
Terlebih, udara kotor bisa langsung kurasakan dari kedua lubang pernapasan ini terkadang cukup mengganggu. Belum bau tidak sedap yang muncul dari saluran air atau got di sepanjang kiri dan kanan jalan. Juga banjir keringat akibat udara panas yang menyengat di luar. Syukur, aku lebih banyak bekerja di dalam ruangan penuh pendingin udara.
Tidak hanya sentuhan antartelapak tangan, cipika-cipiki juga menjadi kekhasan yang mau tak mau harus aku lalui demi kelancaran nasibku di sini. Dari sekian obrolan yang keluar dari masing-masing ucapan kami, tidak jarang yang menanyakan tempat lahir kebanggaanku.
“Oh Kuningan, deket lah tinggal busway,”
“Wih, anak Jaksel nih,”
Dan respons lainnya yang merujuk pada sebutan Kuningan, Jakarta Selatan.
Sebagai orang yang pada saat duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA) sangat menggemari mata pelajaran geografi dan sejarah, tentunya aku menjawab dengan;
“Jadi gini lho Mas dan Mbak, Kuningan merupakan sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Provinsi Jawa Barat dengan letak astronomis 108°23 – 108° 47 bujur timur dan 6°45 – 7°13 lintang selatan, berada di bawah kaki Gunung Ciremai yang merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat, serta terkenal akan keberadaan Gedung Perundingan Linggarjati sebagai tempat penandatanganan kesepakatan Indonesia-Belanda sehingga Pulau Jawa, Sumatera, dan Jawa mampu diakui sebagai wilayah Indonesia,” tentunya ungkapan ini tidak benar-benar keluar dari mulutku, hanya sebatas mentok di benak.
Realitanya, ternyata tidak harus serumit itu. Cukup dengan menjelaskan “Kuningan Cirebon” atau “Kuningan yang dekat Cirebon” seketika semuanya akan menjawab “Oh” dengan nada yang tercipta selama satu hingga dua detik. Entah mereka tahu atau tidak tentang Kuningan yang kumaksud.
Pengalaman ini sebenarnya tercermin dari tulisan Mojok berjudul "Rasanya jadi Orang Batang yang Terpaksa Ngaku Orang Pekalongan" benar-benar mencerminkan kehidupanku sebagai orang yang kepalang sangat pinggiran. Akibatnya aku harus membawa nama tempat tinggal orang lain guna merujuk tempat tinggalku sendiri.
Dari informasi yang aku cari-cari di internet, istilah penamaan yang mirip ini berawal dari kedatangan Pangeran Kuningan bernama Dipati Ewangga yang kemudian dikenal dengan Dipati Jayakarta untuk merebut Sunda Kelapa dari tangan Portugis. Keberhasilan Pangeran Kuningan dengan pasukannya kemudian memutuskan untuk menetap di Sunda Kelapa.
Daerah yang semula hanyalah rawa dengan lebatnya rerumputan disulap menjadi daerah pemukiman bagi masyarakat Kuningan. Daerah tersebut kemudian diberi nama Kuningan, nampaknya dibentuk agar orang-orang Kuningan tidak kangen dengan Kuningan kali ya. Nah lho ribet bahasanya.
Hal ini juga kerap aku alami saat di kampus. Padahal, Kuningan masih berada dalam satu provinsi yang sama dengan Jatinangor, Sumedang.
Menurut analisis dangkalku, hal ini mungkin terjadi akibat Kuningan sendiri tidak punya sesuatu yang mampu menarik perhatian masyarakat luas. Kuningan hanya merupakan kabupaten kecil di ujung Jawa Barat, tidak menjadi pusat apapun, pun tidak memiliki ciri khas berupa adat istiadat atau budaya yang menasional. Menilik ke daerah lain, Sumedang dikenal dengan tahunya, Pangandaran oleh pantainya, Garut oleh dodol dan adu dombanya, dan daerah lain yang sulit kusebutkan dua per dua.
Kuningan sendiri sebenarnya dikenal dalam sejarah kemerdekaan sebagai tempat diplomasi perjuangan, namun terkadang di berbagai buku sejarah yang pernah kubaca, Linggarjati ditulis di daerah Cirebon.
Delman yang kudanya menjadi lambang daerah pun tidak pernah menjadi kekuatan yang tersimpan dalam memori masyarakat luas. Delman sudah tergusur oleh transportasi lain sejak lama, seperti angkot dan kini diperkuat dengan adanya ojek daring. Delman kini hanya digunakan sebagai transportasi wisata di sekitaran Taman Kota Kuningan saja.
Gunung Ciremai sebagai gunung tertinggi di Jawa Barat juga lebih sering ditulis terletak di Majalengka atau Cirebon.
Ketiadaan tokoh terkenal asal Kuningan juga menjadi salah satu faktor mengapa jarang sekali orang tahu. Aku pun sampai sekarang bingung, siapa tokoh atau orang terkenal asal Kuningan? Aku malah mengenal Kuningan sebagai daerah yang kental dengan politik dinasti di pusaran bupati.
Akan tetapi, kelebihan Kuningan yang aku sukai adalah banyaknya tempat (berpotensi) wisata. Cibulan, Palutungan, dan Sangkanhurip mungkin sudah dikenal sebagai salah satu destinasi wisata di Kuningan. Yang mana, hanya dikenal oleh kalangan-kalangan orang tua saja.
Merantau jauh membuatku cukup mengisolasi diri dengan Kuningan. Perubahan pada wajah Kuningan secara fisik acap kali juga menjadi hal biasa aku temukan setiap kali pulang, sekitar enam bulan dua kali. Aku bisa mudah menemukan baliho baru, taman baru, hingga yang ekstrem sampai perubahan lajur transportasi di pusat kota.
Tak terkecuali juga di semakin beragamnya tempat potensi wisata. Seperti, apa ya, pokoknya cukup banyak taman-taman batu atau jurang-jurang yang menawarkan pemandangan alam untuk sekadar swafoto.
Meski demikian, jarak yang jauh dari rumah kerap menjadi kendala. Khususnya, tidak ada transportasi umum yang mampu menjangkau tempat potensi wisata tersebut. Belum lagi, terkadang juga kondisi jalan menuju tempat potensi wisata yang tidak bagus, seperti belum di aspal atau kurang lampu penerangan.
Hal tersebut dinamakan juga prasarana. Menurut Gamal Swantoro dalam Dasar-dasar Pariwisata (2004:21), prasarana adalah semua fasilitas yang dapat memungkinkan proses perokonomian bisa berjalan dengan lancar sedemikian rupa sehingga dapat memudahkan manusia untuk dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.
Sementara itu, prasarana pariwisata adalah sumber daya alam dan juga sumber daya manusia yang mutlak dibutuhkan oleh wisatawan dalam perjalanannya menuju daerah wisata, seperti jalan, listrik, air, telekomunikasi, terminal, jembatan, dan lain sebagainya.
Prasarana kepariwisataan menurut Lothar Kreck dalam bukunya International Tourism dan dikutip dalam buku Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata oleh Oka Yoeti (1997:186) antara lain 1) Receptive Tourist Plan yang mengacu pada organisasi yang mempersiapkan wisatawan, 2) Recidental Tourist Plan atau fasilitas untuk menampung wisatawan, dan 3) Recreatice and Sportive Plan atau fasilitas guna tujuan rekreasi.
Bagiku, tempat-tempat seperti ini bisa dijadikan wajah baru Kuningan yang kelak bakal diingat oleh masyarakat secara luas. Tinggal bagaimana pemerintah mengolahnya sehingga layak dikenal lalu dikunjungi. Tersedianya transportasi, fasilitas yang baik, serta publikasi yang kuat menjadi kunci agar mengubah tempat potensi wisata ini menjadi tempat wisata.
Salah satu contohnya adalah Taman Batu Luhur yang awal tahun 2018 lalu aku kunjungi bersama teman-teman SMA. Namanya mengingatkanku pada Zara dan Firas. Tempat potensi wisata yang terletak di Kecamatan Pasawahan itu menyajikan pemandangan yang indah seperti hutan dan batu pertambangan batu kapur di Majalengka pun terlihat dengan jelas. Tiket masuk pun sangat murah yaitu Rp5 ribu saja.
Hanya saja, tiadanya transportasi umum ke tempat menjadi kendala utama. Selain itu, jaraknya dari pusat kota yang mencapai kurang lebih 30 kilometer membuat sebagian masyarakat yang tidak memiliki kendaraan atau yang malas berkendara enggan pergi ke sana.
Daerahnya pun berada di sekitar pelosok Kuningan sehingga kemungkinan besar masyarakat luar Kuningan untuk mengunjungi atau tahu pun sedikit. Meskipun kini aplikasi penunjuk arah atau maps sudah banyak beredar.
Kebetulan juga, salah satu teman yang ikut adalah Mojang Kuningan, tentu dia harus tahu semua tempat wisata atau berpotensi wisata di Kuningan. Ia juga menjelaskan betapa banyaknya tempat potensi wisata di Kuningan, yang sebelumnya belum ku ketahui. Bahkan, sepanjang perjalanan ke Taman Batu Luhur aku menemukan satu hingga dua tempat wisata lain. Kecamatan Pasawahan memang dikelilingi oleh tempat potensi wisata.
Sebagai tempat potensi wisata, seharusnya pemerintah mampu memberikan tenaganya untuk menjadikan tempat wisata menjadi andalan Kuningan. Dalam kasus Taman Batu Luhur dan Kecamatan Pasawahan, pemerintah bisa membuat semacam agen perjalanan wisata di Kecamatan Pasawahan baik untuk masyarakat Kuningan dan bukan.
Dengan demikian, pemerintah bisa menyediakan transportasi ke tempat sekaligus menjaga serta menjamin keamanan dan penjelajahan tempat potensi wisata di sana. Bayangkan, apabila perjalanan pun diperluas ke daerah potensi wisata lainnya di luar Kecamatan Pasawahan yang ada di Kuningan tentunya.
Masyarakat sekitar tempat potensi wisata juga harus diberdayakan dalam rangka mengolah dan terutama menjaga tempat potensi wisata. Pemerintah harus mampu memberikan arahan pada setiap pengurus tempat potensi wisata untuk bertahan, berkembang, dan berkreativitas agar terus dikunjungi masyarakat.
Tempat wisata utama mungkin akan selalu begitu-begitu saja, maka inovasi harus terus diciptakan agar tercipta daya tarik baru. Jangan sampai tempat wisata kelak mati layaknya kini Cibulan atau Sangkanhurip. Setahuku, tidak ada perubahan atau inovasi yang dilakukan pengelola sehingga mulai ditinggalkan pengunjungnya.
Masyarakat secara umum di Kecamatan Pasawahan juga bisa diberdayakan dengan menyewakan rumahnya sebagai tempat tinggal atau peristirahatan. Membuat guest house bisa menjadi ladang ekonomi baru bagi masyarakat di sana. Sebagai daya tarik tambahan, desa-desa bisa berinovasi dengan membuat pertunjukan budaya atau santapan daerah khas.
Setelah mengurusi semua soal prasarana, pemerintah harus membuat dan mengoptimalkan peran multimedia serta publikasi. Membuat video profil dari tempat wisata atau bahkan menyewa buzzer atau influencer wisata untuk mengenalkan tempat wisata di Kuningan.
Dengan demikian, masyarakat secara umum mampu mengetahui Kuningan karena tempat-tempat wisatanya. membuat orang-orang juga kelak ingin datang ke Kuningan melalui gambaran tempat wisata, fasilitas, serta kekhasan yang dimiliki setiap tempat wisata. Untuk mewujudkan itu, sosok atau orang yang terkenal khususnya di media digital yang dikuasai masyarakat muda sangat dibutuhkan.
Dampak baik juga tidak akan hanya datang bagi nama Kuningan, namun juga masyarakat sekitar tempat potensi wisata. Makanan atau oleh-oleh khas Kuningan juga bisa dijajakan di sana sebagai bentuk promosi wajah lain daerah. Menunjukkan keberagaman dan betapa kayanya Kuningan.
Banyaknya tempat potensi wisata di Kuningan membuatku takjub, terlebih bangga. Bahkan, salah satu tujuanku hidup di Kuningan selain sembari menghabiskan waktu hingga mati di sana adalah mengunjungi semua tempat wisata yang baru kuketahui ada.
Dari kegelisahanku tentang kurang terkenalnya Kuningan, mungkin sektor pariwisata bisa dimanfaatkan untuk mengalahkan Kuningannya Jakarta Selatan dari segi keterkenalan. Dari “Kota Kuda” menjadi “Kota Wisata”.
Terpentingnya lagi, agar orang-orang mengingat Kuningan sebagai kabupaten destinasi wisata setiap liburan datang, bukan kawasan elit di Jakarta Selatan.
KOMENTAR ANDA