Pernah mendengar kata Delman? Ya, tepat sekali! Delman adalah salah satu moda transportasi tradisional yang sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Pengoperasian delman dilakukan dengan cara ditarik dengan kuda yang dikendalikan oleh kusir.
Seiring berjalannya waktu, delman tak hanya berfungsi sebagai moda transportasi semata, melainkan dijadikan tujuan berwisata. Kini, delman pun mulai bersolek dalam rangka bertransformasi. Kali ini, delman dihiasi kembang kelapa warna-warni. Namun, di balik transformasi delman yang kian menarik, tersimpan kisah pilu bagi para kuda yang menarik delman.
Dari awal kuda berangkat kerja untuk melayani penumpang, mereka harus menempuh jarak yang cukup jauh. Belum lagi saat sudah sampai di lokasi kerja, mereka dipaksa bekerja tanpa kenal lelah. Kalau penumpang ingin naik, harus dilayani meski sebenarnya kuda sedang butuh istirahat.
“Wilayah tempat delman beroperasi selalu jauh dari tempat dimana mereka tinggal. Misalnya, kuda kandangnya di kembangan, kerjanya di Monas. Kuda harus jalan 2 jam. Sampai di lokasi, mereka harus kerja. Meski sudah lelah pun, mereka harus tetap bekerja seharian. Kerjanya dipaksa, kalau ada yang mau naik harus jalan. Kadang juga dipukul,” ujar Femke Den Haas, pendiri Jakarta Animal Aid Network (JAAN), lembaga independen yang peduli terhadap kesejahteraan satwa.
Femke menambahkan, selain melihat dari sisi kesejahteraan kuda, harus ditinjau juga dari sisi keamanan masyarakat. Kuda bisa saja membahayakan lalu lintas, apalagi ketika kuda sudah kelelahan. Harus ada fasilitas yang memadai untuk mencegah kuda agar tak kelelahan. Misalnya, ada tempat minum untuk kuda di sekitar area delman beroperasi.
Pemilik kuda pun kebanyakan kelas menengah ke bawah. Hal ini pun mempengaruhi fasilitas yang didapatkan kuda. Namun, Femke mengaku, tidak bisa menyalahkan kusir delman karena mereka sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memfasilitasi tapi kesulitan biaya pun menjadi halangannya.
Jangankan memberikan fasilitas yang baik untuk kuda, untuk keluarga sendiri saja masih kurang. Padahal, delman menjadi pekerjaan turun temurun. Kalau dibiarkan begini terus, akan semakin banyak kuda yang ditemukan mati di jalan.
"Orang yang pegang delman ini kan kebayakan di garis kemiskinan. Tidak akan sanggup merawat kuda dengan baik. Saya tidak bisa protes ke kusirnya. 80 persen luka-luka karena terlantar, yang punya tidak sanggup mengurus dengan maksimal, uang yang masuk itu untuk menghidupi keluarga, sedangkan untuk kuda, sangat minim,” katanya.
Masyarakat pun nampaknya tak terlalu peduli dengan kesejahteraan kuda. Meski terkadang iba melihat kuda yang harus berkeliling sambil dipukul oleh kusir, itu akhirnya dianggap lumrah terjadi.
“Ya dipukul biar nurut, jadi ya mau nggak mau. Delman itu kan udah kayak tradisi ya. sayang kalau nggak boleh beroperasi,” kata Fitra, pekerja yang mengaku pernah naik delman di luar Monas.
Hal senada juga diungkap Ana. Menurutnya, asal kuda diberi makan dengan baik, tak masalah jika harus dipaksa bekerja.
“Yang penting jangan lupa dikasih makan. Istirahatnya yang cukup. Kan nggak setiap jam juga kayaknya nariknya kan,” ungkapnya.
Sebenarnya, beberapa kali Delman dilarang beroperasi. Namun belakangan, delman masih terlihat karena dianggap sebagai alat transportasi yang unik sehingga dapat dijadikan tujuan untuk berwisata. Meskipun memang diperbolehkan beroperasi, kedepannya, Femke berharap akan banyak instansi yang peduli terhadap kesejahteraan kuda delman.
“Jangan terus-menerus berteriak-teriak pada pemerintah. Misalnya, dunia olahraga kuda itu kaya, bisa nggak, mereka menyumbang untuk para kusir delman yang tidak sanggup.” pungkasnya.
KOMENTAR ANDA