Raut wajahnya sendu. Tak terasa, air mata pun menetes tanpa permisi. Diiringi senyum tercetak manis di bibirnya. Keningnya berkerut. Hatinya berkecamuk. Bingung, harus bersedih atau bahagia. Sedih lantaran waktu berpisah itu kini harus tiba, tapi bahagia sebab perpisahan ini justru yang diharapankannya sejak dulu. Akhirnya, ia pun memilih merasakan keduanya, sedih dan bahagia, tawa dan tangis, secara bersamaan.
Gadis itu bernama Andara Rachel. Orang biasa memanggilnya Rachel. Gadis asal Jakarta yang belum genap berusia 18 tahun itu kini tengah menikmati masa terindah dalam hidupnya. Masa yang selalu diimpikannya sejak duduk di bangku SMP, menjadi mahasiswi perantauan.
Sejak kecil, Rachel merasa hidupnya terkekang orang tua, penuh aturan. Aturan yang paling dibenci, misalnya, wajib berada di rumah sebelum pukul tujuh malam. Doa agar kuliah di luar kota dan tinggal di tempat kos pun telah dipanjatkan Rachel sedari SMA. Dengan begitu, sangkanya, hidup akan menjadi lebih terbuka, tak terkungkung aturan rumah. Kini doanya terkabul, Rachel menjadi mahasiswi di sebuah perguruan tinggi di Bandung. Satu hal yang terpenting baginya, tak tinggal bersama orangtua.
Berbagai hal yang tak mungkin terjadi semasa sekolah, kini bisa dilakukannya dengan bebas. Pulang larut malam, aktif di berbagai organisasi, terlibat di banyak kegiatan, atau sekadar melancong ke luar kota bersama teman-teman. Lebih dari itu, ada satu hal lain yang tak pernah terbayangkan sebelumnya dan menjadi kesan yang begitu berdampak besar bagi hidupnya.
Rachel tak pernah membayangkan bakal "terjebak" dalam suatu organisasi yang seluruh anggotanya adalah laki-laki. Barangkali, bagi sebagai orang, itu terdengar biasa saja, tetapi bagi Rachel, poisisi tersebut amat istimewa. Menjadi satu-satunya perempuan dalam sebuah lingkungan menjadi pengalaman pertama baginya.
Kisahnya bermula beberapa hari setelah resmi berpredikat mahasiswi. Rachel yang kala itu haus akan berbagai kegiatan pun seperti kalap. Ia mendaftar di berbagai organisasi dan kepanitiaan tingkat fakultas maupun universitas. Maklum, semasa sekolah, Rachel tak mungkin bisa seperti teman sesekolah yang aktif di OSIS atau berbagai ekstrakulikuler. Pasal, terbentur aturan rumah. Kegiatan sekolah biasanya memakan waktu hingga malam hari.
Sebagai mahasiswi baru, Rachel paling tertarik pada tim futsal di fakultasnya. Saat itu, kondisi memberinya jalan, mereka sedang mencari manajer tim. Rachel yang memang gandrung menonton futsal atau sepak bola itu lantas mendaftar. Ia tak ambil pusing, meski tak tahu bagaimana tugas manajer sebuah tim futsal. Ia hanya berpikir, jika menjadi manajer maka ia bisa dekat dengan para pemain yang terkenal sangat ramah dan asyik.
Melalui proses wawancara, Rachel akhirnya terpilih. Ketua dari organisasi tersebut pun hanya memberi arahan seadanya kepada Rachel. Satu yang selalu ditanam di kepala Rachel adalah manajer berarti mengurusi seluruh kebutuhan tim. Bahkan, itu menjadi satu-satunya yang diajarkan oleh ketua sebelumnya. Sisanya, kebanyakan hanya cerita yang sangat cheesy tentang keuntungan yang didapat seorang manajer. Betapa beruntungnya bisa berkesempatan mengurusi dan begitu dekat dengan para pemain futsal nantinya.
“Halah, ngga akan percaya-percaya amat. Kakaknya cerita manis banget. Ngga yakin jadi manajer se bahagia itu,” ucapnya dalam hati.
Meski awalnya ragu, Rachel mencoba bertahan pada pilihannya. Sudah kepalang tanggung, lagi pula, ia suka sekali tantangan. Semakin banyak cerita yang disampaikan ketua sebelumnya, ia semakin penasaran dan bertekad akan bekerja dengan sepenuh hati. Ia yakin, tantangan yang baru ini dapat ditaklukannya.
Kesan pertama saat bertemu dengan pemain futsal pun jauh melebihi ekspektasinya. Dalam hitungan menit, ia nampaknya berhasil mengambil hati mereka. Mereka seperti tersihir oleh sikap Rachel yang memberikan kesan ramah namun tetap sopan. Maklum, kebanyakan pemain berasal dari angkatan yang lebih tua darinya.
Rachel benar-benar cerdas memposisikan diri. Kehidupannya selama di tim juga melebihi apa yang dibayangkannya. Tak hanya asyik diajak bicara, para pemain juga bersikap sangat hangat dan perhatian.
Saat melakoni tugasnya sebagai manajer, ia tak menemukan kesulitan yang berarti. Meski tetap saja, beberapa kali sempat kewalahan. Namun, semua terbayar lunas saat ia melihat anak-anak kesayangannya yang sedang bertanding memamerkan senyum kepadanya yang duduk di pinggir lapangan. Terlebih saat tim yang dia asuh memetik kemenangan dalam turnamen futsal di fakultas.
Setengah tahun berlalu, Rachel tiba-tiba “dipaksa” untuk keluar dari zona nyamannya itu. Ia harus menerima kenyataan bahwa dirinya akan meninggalkan tim asuhannya. Kenyataan ini membuatnya harus berproses dari awal lagi untuk naik ke satu tingkat yang lebih tinggi. Meski sedih, karena tak bisa lagi mendampingi tim futsal fakultasnya, ia juga harus berbahagia karena akan jatuh lebih dalam ke dunia yang baru baginya.
Namanya George Benny Sudarmadji, akrab disapa Benny adalah salah satu pemain "kesayangan" Rachel. Mulanya, Rachel hanya penasaran dengan pamflet yang disebar Benny tentang pencarian manajer baru untuk tim futsal universitas. Perlu diketahui, selain aktif di fakultas, Benny juga aktif di futsal universitas.
“Ini tim futsal universitas lagi cari manajer ya, Kak?” tanya Rachel.
“Ya nih. Susah bener nyari manajer. Manajer sebelumnya udah lulus sih jadi ngga bisa ngurus lagi. Kenapa emang?” ujar Benny dengan tatapan menyelidik. Nampaknya, Benny menyangka Rachel tertarik untuk mendaftar.
“Ngga sih. Nanya doang,”
“Ngga mungkin nanya kalo ngga ada tujuannya. Udah buruan gih daftar. Pusing aku tuh gara-gara tim ngga ada yang ngurus. Mana ketuanya suka ngilang ngga jelas gitu. Pemain yang repot,” keluh Benny.
“Ah ngga kepikiran deh bakal jadi manajer univ. Ngga kebayang aku, Kak. Ngga akan sanggup,” ujar Rachel.
“Besok dateng yuk ke latihannya futsal univ. Nonton aja gitu. Kan banyak anak fakultas kita yang ikut juga di futsal univ,” kata Benny seraya memelas. Rachel nampak curiga dengan penawaran Benny.
“Hm, Gampang deh ntar aku dateng,” ujarnya tak yakin.
Permulaan sepele itu ternyata mengantarkannya pada hari yang sempat menjadi hari tersialnya. Hari di mana ia menjawab tawaran Benny. Entah mendapat kekuatan dari mana, hari itu ia tiba-tiba sudah berada di depan pintu menuju lapangan tempat latihan. Pada saat itu juga ia menjadi manajer tim tanpa persetujuannya.
Tunggu dulu! Harap bersabar! Jangan langsung ingin tahu soal kelanjutan kisahnya bersama tim yang tak pernah diharapkannya ini. Kisah awal mula datangnya kesialan seorang Andara Rachel harus benar-benar dijabarkan dengan rinci!
Satu-satunya alasan mengapa Rachel ingin datang ke latihan rutin tim futsal universitas adalah rindu. Sudah beberapa bulan timnya tidak mengadakan latihan dan mengikuti turnamen. Otomatis, sudah lama pula ia tak bertemu dengan anak-anak kesayangannya.
Apalagi, anak-anak kesayangannya itu jarang sekali ke kampus. Demi mengobati rasa rindu itu lah, ia datang ke “kandang” tim universitas. Benny pun semakin menghasutnya dengan berkata, kalau hari itu anggota tim banyak yang hadir.
Tapi, Benny ternyata tak berbohong. Suasana latihan hari itu sangat ramai. Hampir semua anak-anak kesayangan Rachel datang. Mereka pun menyambut kedatangan Rachel dengan suka cita. Beberapa anak dari berbagai fakultas merasa heran dengan kehadiran Rachel. Pertanyaan yang ada di dalam kepala mereka pun serupa, untuk apa ada perempuan datang ke sini?
“Woi, sini kumpul dulu ke tengah. Gue mau ngenalin manajer baru,” teriak Benny.
Deg! Jantung Rachel berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia yang awalnya asyik mengobrol bersama anak-anak kesayangannya, mendadak membisu. Gelak tawanya yang sedari tadi terdengar oleh seisi lapangan mendadak hilang. Matanya langsung mencari-cari sosok Benny. Yang membuatnya kaget setengah mati adalah ia baru menyadari bahwa dirinya lah satu-satunya perempuan di sana!
“Tenang, Hel. Jangan panik. Ngga usah ge-er. Siapa tau manajer barunya tuh laki-laki,” ucapnya dalam hati, berusaha mengelak pada kenyataan.
Rachel menyuguhkan seulas senyum dengan susah payah. Ia harus tetap terlihat tenang meski pikirannya tiba-tiba kacau. Tapi entah kenapa Rachel malah melamun.
“Hel, ayo sini,” teriak Benny yang seketika membuyarkan lamunan Rachel. Lagi-lagi, matanya melihat ke sekeliling untuk memastikan bahwa panggilan itu memang benar-benar untuknya. Rachel pun tak bisa mengelak lagi ketika menyadari bahwa tinggal dirinya sendiri yang duduk di pinggir lapangan. Ia sudah terlanjur datang ke tempat yang lebih mirip area pertarungan baginya. Mana mungkin ia bisa mundur? Selain karena kepalang basah, Rachel bukan pengecut. Ia paling gengsi kalau harus mundur sebelum bertempur.
Selanjutnya, sesuai dengan apa yang sempat dicurigainya, ia pun resmi menjabat sebagai manajer tim futsal universitas dengan terpaksa.
Harus menunggu beberapa hari untuk Rachel bisa menerima kenyataan pahit itu dengan ikhlas. Beberapa hari ia terlihat linglung. Masih tak percaya di pundaknya ada beban baru yang jelas lebih berat dari sebelumnya. Tapi, ia juga sering menertawakan dirinya sendiri.
“Kenapa lebay banget gini sih, Hel. Jadi manajer kayak yang berasa dunia bakal runtuh aja. Elo udah pernah berhasil jadi manajer kok. Elo udah pernah berhasil menaklukan apa yang belum pernah elo lakuin sebelumnya. Ngga akan beda jauh lah. Tenang aja, elo tuh belom nyoba. Dasar aneh!” ucapnya dalam hati, sambil berusaha menenangkan diri.
Sayangnya, pikiran burukn yang kali ini menang dan menjadi kenyataan!
Kali ini, sama seperti apa yang dialaminya saat pertama kali berniat menjadi manajer tim fakultas, kenyataan memang jauh melebihi ekspektasinya.
Sayangnya kali ini, JAUH LEBIH BURUK!
Setiap hari, Rachel selalu menyalahkan dirinya sendiri. Seharusnya ia tak termakan hasutan Benny. Harusnya ia lebih sabar menahan rindu. Harusnya ia tak datang ke tempat latihan itu dan yang paling penting, harusnya dia berani menolak. Tapi, Rachel tak sampai hati. Saat Benny mengatakan bahwa ia yang akan mengurus tim itu, para pemain menatapnya dengan mata berbinar-binar. Anak-anak kesayangannya itu seperti menaruh harapan besar pada yang membuatnya semakin merasa bersalah kalau harus mundur.
Ternyata, mengurus tim universitas sangat berbeda jauh dengan mengurus tim fakultas. Rachel seperti harus mengulang semuanya dari nol. Apalagi, ketuanya benar-benar menghilang. Rachel seperti tak memiliki tempat untuk bertanya dan berkeluh-kesah. Mulai dari mengatur keuangan, perlengkapan latihan dan turnamen, urusan birokrasi kampus, urusan ke staf pelatih, dan lain sebagainya, dilakukannya seorang diri.
Apa yang dia lakukan ketika mengurus tim futsal tersebut semuanya ia kerjakan seorang diri. Beberapa yang dimintai pendapat olehnya pun malah tetap menyerahkan keputusan padanya tanpa memberikan solusi. Beberapa kali ia sempat meminta bantuan pemain. Tapi, selalu diabaikan. Apalagi, salah satu kelemahan Rachel adalah sifat tak teganya.
Ia selalu iba melihat pemain yang sudah kelelahan saat latihan dan bertanding hingga ia tak tega untuk memelas ketika mereka mengelak saat ia meminta bantuan. Entah sudah beberapa kali ia mengalami masa-masa sulit bersama timnya.
Pernah suatu ketika, ia harus mengambil kaos tim untuk pertandingan di konveksi. Mereka akan berangkat ke luar kota untuk bertanding pada pukul 7 pagi di esok hari. Hari itu, sudah menunjukkan pukul 10 malam dan sedang hujan deras. Beberapa kali ia mengontak pemain untuk menemaninya ke konveksi.
Tak ada jawaban. Akhirnya, ia mengambil keputusan cepat untuk naik ojek online. Sialnya, ojol tersebut tak memiliki jas hujan tetapi tepat menerobos hujan kala itu. Hal itu baru satu dari sekian banyak kisah "penderitaannya" demi menjamin kebutuhan pemain.
Belum lagi, turnamen yang diikuti oleh tim universitas jauh lebih padat. Bisa lebih dari lima kali dalam setahunnya. Seluruh kelengkapan persyaratan tim dan pemain untuk mengikuti turnamen yang terkenal sangat merepotkan itu pun harus diurus sendiri olehnya.
Bahkan, pernah di suatu turnamen, ia harus mengurus kelengkapan persyaratan dua puluh pemain sekaligus. Satu pemain harus melengkapi tujuh persyaratan. Banyak pemain yang terkadang malas untuk mengurusnya seorang diri. Lagi-lagi, Rachel lah yang harus pontang-panting mengurusnya, termasuk harus bolak-balik ke fakultas di mana pemain tersebut berasal.
Ditambah, ia harus mengatur keuangan yang terkadang sangat pas-pasan agar kebutuhan pemain dapat terpenuhi ketika turnamen berlangsung. Pernah juga di suatu turnamen, anak-anaknya harus tidur beralaskan tikar karena tak sanggup membayar sewa rumah yang lebih layak.
Suasana rumah yang dipenuhi nyamuk dan kipas angin seadanya pun semakin membuat mereka tak nyaman untuk tidur. Bagaimana dengan Rachel? Nasibnya pun tak jauh berbeda. Ia harus tidur di sofa. Bukan sofa empuk melainkan kursi kayu yang beralaskan busa seadanya.
Jelas saja, ia merasa hidupnya saat ini benar-benar didedikasikan untuk timnya. Banyak yang akhirnya harus dikorbankan. Sampai waktu untuk teman-teman, pendidikan, dan keluarganya pun terpaksa harus dikesampingkannya. Prioritasnya kini seketika berubah. Baginya, memastikan kesejahteraan tim ini adalah kewajiban utama dalam hidupnya.
Tapi, bukan Rachel namanya kalau menyerah sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan. Ketangguhannya memang teruji. Misalnya saja, Ia tak gentar meski sering kali ia terlibat adu argumen dengan pihak kampus dan staff pelatih yang seluruhnya adalah laki-laki, demi membela anak-anak kesayangannya itu. Beberapa kali ia menuai pujian dari berbagai pihak karena ketangguhannya untuk memperjuangkan hak yang seharusnya didapatkan anak-anaknya. Baginya, yang ada di kepalanya saat ini hanya satu, kalau anak-anaknya bahagia, ia akan merasa jauh lebih bahagia.
Dengan segala beban yang dipikulnya, sama seperti dulu, semua terbayar lunas ketika ia melihat anak-anak kesayangannya yang sedang bertanding memamerkan senyum kepadanya yang duduk di pinggir lapangan. Apalagi ketika mereka berhasil mengangkat piala. Seketika beban yang selama ini dipikulnya pun mendadak sirna. Rasanya, ganjaran atas semua dedikasinya itu langsung dibayar tuntas.
Rachel dan anak-anak kesayangannya itu pun pernah mengukir prestasi-prestasi yang belum pernah didapat pada tahun-tahun sebelumnya. Mengukir sejarah yang manis untuk dikenang. Bahkan, bersama Rachel, tim ini berhasil meraih predikat organisasi terbaik di Universitasnya.
Seperti biasanya, Rachel lebih memilih melihat semua itu dari kejauhan. Ia masih menganggap apa yang dilakukannya selama ini tak sebanding dengan perjuangan dan pengorbanan anak-anaknya selama pertandingan berlangsung.
Ketika anak-anak kesayangannya mengangkat piala dan dikalungi medali di podium, ia memilih melihatnya dari bangku penonton. Selepas itu, anak-anaknya pasti langsung menghampiri sambil mengejeknya.
“Manajer kita ini aneh. Kalo sedih, nangis. Capek, juga nangis. Ini lagi bahagia juga nangis. Apa-apa nangis. Emang ngga seneng ya, liat kita menang?” kira-kira begitulah sepercik rutinitas penuh drama yang dijalani Rachel bersama anak-anak kesayangannya.
Tunggu dulu. Sejak kapan Rachel menyebut mereka dengan “anak-anak kesayangan?”
Entah sejak kapan dan apa alasannya, Rachel akhirnya menyadari bahwa ia seperti terikat pada anak-anak itu. Meski berulang kali mengeluh, ia tak dapat memungkiri bahwa mereka berhasil memikat hatinya sehingga perhatiannya selalu tercurah pada mereka.
Rasa sayang Rachel pada mereka menjelma seperti ibu yang menyayangi anak-anaknya. Begitupun sebaliknya. Puluhan anak-anak itu mungkin sering mengabaikannya. Tapi, Rachel percaya bahwa sebenarnya mereka sangat peduli padanya tapi tak mengerti cara menunjukkan kepeduliannya itu.
Tercatat sudah lebih dari lima kali ia menemani anak-anaknya mengikuti turnamen di tingkat nasional dan internasional. Berhari-hari mereka dipertemukan dalam satu atap. Seiring berjalannya waktu, mereka semakin dekat dan layak disebut sebagai sebuah keluarga. Kecintaan terhadap suatu organisasi ataupun institusi terkadang membuat seseorang lupa diri.
Bahkan, saking terlalu memujanya, banyak diantaranya yang menganggapnya sebagai suatu hal yang cheesy, seperti ‘kesayangan’, ‘rumah kedua’, atau ‘keluarga’. Tidak salah kalau menganggap itu adalah hal yang cheesy, tapi jangan salahkan pula orang-orang yang menganggap bahwa hal yang cheesy itu benar adanya, alias benar-benar merasakan apa yang disebut ‘rumah kedua’ dan ‘keluarga’. Orang yang beranggapan begitu ya salah satunya Rachel.
Lagi-lagi, Rachel “dipaksa” untuk keluar dari zona nyamannya. Kali ini, terasa jauh lebih berat mengingat kedekatannya dengan anak-anak yang sudah seperti tak bisa dipisahkan. Ia “dipaksa” untuk benar-benar keluar karena masa depan sudah menantinya. Tak terasa, sudah dua tahun ia mendampingi anak-anak kesayangannya. Berarti, sudah hampir empat tahun ia berada di universitasnya. Ia sudah bertemu anak-anak dari yang lebih tua sampai yang lebih muda darinya. Jika memilih bertahan, justru akan menjadi penghalang untuknya meraih masa depannya. Lagi-lagi, prioritas pun berbicara.
Sejujurnya, saat titik jenuhnya berada di puncak, ia sangat menantikan perpisahan ini. Tapi kali ini, ia rasanya ingin sekali meralat harapannya itu. Pernah suatu ketika ia menyampaikan keluhannya pada anak-anak. Sambil menahan tangis, kata-kata ingin menyerah pun keluar dari mulutnya. Berulang kali anak-anaknya berusaha menahan. Bahkan, anak-anak kesayangannya itu sampai ikut menitikkan air mata. Berulang kali pula mereka berjanji untuk lebih peduli padanya dan membantu ketika Rachel mengalami kesulitan.
Tetap saja, ia memilih pergi. Beberapa hari mencoba menghilang, berusaha tak peduli. Namun, tak perlu menunggu lama, ia kembali. Tapi kali ini, berbeda dengan sebelumnya, perpisahan yang dialaminya bersama anak-anaknya kesayangannya bersifat mutlak. Ia tak mungkin kembali.
Jika ia pernah berujar bahwa hari di mana ia dipaksa menjadi manajer adalah hari tersial sepanjang hidupnya, itu salah besar. Hari tersial sepanjang hidupnya justru hari dimana ia harus berpisah dengan mereka. Butuh waktu berhari-hari untuknya menerima kenyataan pahit itu.
Meski sudah resmi mundur dan digantikan oleh manajer lain, beberapa kali ia masih mengunjungi “kandang” tempat latihan anak-anaknya. Baginya, bersenda gurau beberapa menit saja di lapangan bisa sedikit mengobati kerinduannya. Meski tetap saja pada kenyataannya, ia bukan lagi “ibu” bagi anak-anak kesayangannya.
Kini, semuanya perlahan-lahan mulai berubah.
Tempat kosnya tak lagi sesak karena dipenuhi tumpukan kertas bekas persyaratan dan kaos tim.
Handphonenya tak lagi dipenuhi chat dari pihak kampus dan panitia turnamen yang seringkali membuatnya kesal.
Hidupnya kini tak lagi dipenuhi sederet ocehan yang selalu membuatnya rindu.
“Kak, besok latihan jam berapa?”
“Hel, nama-nama pemain saya kasih besok ya”
“Kak, sekali-kali beli makannya yang pedes dong. Ngga ada rasanya nih”
“Kak, persyaratan aku apa aja nih yang kurang?”
“Hel, makan ih. Masa dari tadi makan es krim doang”
Sama seperti dirinya, anak-anak kesayangannya ternyata membenci perpisahan itu. Mereka tak semudah itu melupakan Rachel. Masih ada kisah tentang permasalahan keluarga, percintaan, perkuliahan, kehidupan futsal, dan terkadang ocehan-ocehan sepele yang memenuhi handphone Rachel. Tentu saja, dari anak-anak kesayangannya.
Tapi, yang selalu menjadi pertanyaan Rachel, apa mereka berhasil menemukan pengganti yang jauh lebih baik darinya?
Masalahnya dari kemarin, isi chat di gawainya selalu dipenuhi oleh keluhan anak-anaknya yang membandingkan kinerja manajer baru dengan dirinya.
Apalagi, mereka sangat pandai merangkai cerita yang dibumbui drama.
Membuat jiwa iba dalam dirinya seketika memberontak.
Lebih parahnya lagi, ada rumor kalau ketiga manajer baru itu tak betah.
“Dasar anak-anak, dari dulu ngga pernah puas. Banyak banget maunya. Ini udah ada manajer sampe tiga orang, masih aja ngeluh.. Tau aja lagi kalo gue orangnya ngga tega-an. Bisa-bisa, gue jadi manajer lagi nih gara-gara kasian. Kalau kayak gini caranya, kapan gue lulusnya?”
KOMENTAR ANDA