Kebuntuan berpikir kritis di kampus karena penerapan NKK/BKK, melahirkan kelompok-kelompok diskusi para aktivis mahasiswa di luar kampus. Diantaranya adalah Gruop Diskusi Singaperbangsa (GDS). Sebuah grup yang didirikan oleh aktivis Unpad (Universitas Padjadjaran) yaitu Buntje Harbunangin, Cahyono Eko Sugiharto, Syarif Bastaman, dan Helmansyah.
Kelompok ini terbentuk tidak lepas dari peran besar dari Fahzenil, aktivis Unpad juga. Selain ia paling banyak referensi bukunya, Fahzenil paling luas jaringannya dengan tokoh- tokoh senior seperti Marsilam Simanjuntak, A Rahman Tolleng, Hariman Siregar, dan lain-lain. Kelompok diskusi ini secara intens menyelenggarakan diskusi rumahan setiap minggu pada sekitar tahun 1980-1983.
Biasanya, diskusi berlangsung pada malam hari. Topik diskusi sebagian besar adalah situasi politik nasional dan juga pemikiran-pemikiran filsafat kritis. Pada setiap diskusi, melibatkan 15 sampai 20 mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu dan bukan hanya Unpad, tapi juga ada dari ITB (Institut Teknologi Bandung) dan Unpar (Universitas Katolik Parahyangan). Pernah juga dihadiri aktivis dari UI (Universitas Indonesia) yang khusus datang ke Bandung untuk berdiskusi.
Sekretariat GDS menjadi semacam markas eksternal kampus untuk mengamati, merekrut aktivis muda, dan bahkan merancang beberapa kegiatan kampus dalam menghadapi rezim yang berkuasa.
Oleh sebab itu, ada teror kecil di sana sini terhadap GDS seperti pelemparan batu pada tengah malam ke sekretariat, ancaman penculikan, kecurigaan adanya intel internal, dan sebagainya adalah hal- hal yang dianggap wajar oleh semua anggotanya.
Yang tidak kalah penting dari anggota GDS, ada mahasiswa ITB bernama Amen Hermanto yang menguasai beberapa buku yang sebelumnya disarankan oleh Fahzenil dibahas. Salah satu buku yang sangat ia kuasai dan dikupas bersama secara mendalam adalah buku "Dilema Manusia Rasional" dari Max Horkheimer yang telah diterjenahkan oleh Sindhunata.
GDS juga sempat mengundang Marsillam Simanjuntak, karena animo peserta yg akan hadir banyak, acara meminjam tempat di salah satu tempat olah raga di daerah Dago.
Piramida Pembangunan
Di lain waktu, dibahas juga buku karya Peter L Berger yang diterjemahkan oleh A Rahman Tolleng dengan judul Piramida Pembangunan. Buku Piramida Pembangunan sangat relevan di saat gencarnya pembangunan di era Orde Baru. itu. Salah satu pokok pikirannya adalah pentingnya melibatkan partisipasi masyarakat terutama partisipasi kognitif dalam setiap kebijakan pembangunan.
Buku ini mengingatkan kami bahwa di balik setiap gemerlap pembangunan selalu ada sisi gelapnya yaitu penderitaan bahkan ketertindasan masyarakat tertentu, terutama masyarakat bawah. Buku-buku yang cukup populer pada saat itu dibahas bergantian oleh anggota dengan kewajiban pada beberapa anggota untuk menjadi narasumber atau penanggap dari narasumber diundang.
Seperti Abdul Hakim Garuda Nusantara salah satu pemikir dan penggagas Bantuan Hukum Struktural di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) adalah salah satu narasumber yang cukup antusias hadir dalam acara GDS, termasuk Mulyana W Kusumah.
Beberapa aktivis mahasiswa Unpad saat itu yang aktif dalam diskusi itu tercatat ada Eka Santosa yang kemudian pernah menjadi Ketua DPRD Jawa Barat dan Syarif Bastaman menjadi anggota DPRD Jawa Barat.
GDS adalah mozaik indah yang menghiasi masa-masa romantika sebagai aktivis mahasiswa saat itu. Grup aktivis yang ingin mempertahankan budaya berpikir kritis seperti GDS pada hari ini pun pasti ada walau dalam format dan romantika yang berbeda.
KOMENTAR ANDA