Pernahkan kamu bertanya, mengapa luar angkasa dapat tetap dingin padahal matahari sangat panas? Jika pernah, Elisabeth Abel, ilmuwan NASA yang bekerja di Parker Solar Probe, sebuah program penerbangan luar angkasa untuk mempelajari Matahari menjelaskan bahwa sistem tata surya memiliki suhu ekstrem yang jauh berbeda dengan Bumi, sebagaimana dilansir oleh Kumparan.
Matahari merupakan bola gas api yang intinya bersuhu 15 juta derajat celcius dan permukaannya bersuhu 5.500 derajat celcius. Sedangkan suhu luar angkasa dapat mencapai minus 270 derajat celcius. Dilansir dari Kumparan, Elisabeth Abel mengatakan, luar angkasa memiliki suhu yang sangat ekstrem, mulai dari suhu yang sangat panas hingga suhu beku.
Panas Matahari bergerak melalui kosmos sebagai radiasi, sebuah gelombang energi inframerah yang berpindah dari tempat panas menuju tempat yang dingin. Gelombang radiasi tersebut memanaskan molekul yang dilewatinya. Seperti itu juga perjalanan panas Matahari hingga sampai ke Bumi.
Namun, seperti yang sudah dijelaskan, panas Matahari hanya memanaskan partikel atau molekul yang dilewatinya. Sementara, bagi partikel atau molekul yang tidak dilalui panas Matahari akan tetap dingin. Seperti yang terjadi pada planet Merkurius, suhu malam hari di planet tersebut bisa mencapai 537 derajat celcius lebih rendah dibanding sisi lain planet yang terkena radiasi Matahari.
Kondisi tersebut berbeda dengan di Bumi yang suhunya tetap hangat meskipun pada malam hari. Mengapa hal ini bisa terjadi? Penyebabnya adalah gelombang panas di Bumi berpindah dengan tiga metode yakni konduksi, konveksi, dan radiasi.
Saat gelombang radiasi Matahari tiba di Bumi dan membuat panas molekul di atmosfer, gelombang itupun langsung melepas energi ekstra yang ada di sekitarnya. Molekul yang terkena radiasi itupun ikut memanaskan molekul di sekitarnya. Reaksi berantai suhu panas di luar jalur gelombang radiasi Matahari ini disebut Konduksi.
Luar angkasa adalah ruang hampa, molekul gas di sana terlalu sedikit dan berjarak terlalu jauh untuk dapat saling bersentuhan. Dampaknya, ketika gelombang panas Matahari melintas, proses pemanasan dengan metode konduksi tidak dapat terjadi. Begitu juga dengan metode konveksi, metode penyebaran panas yang dapat berlangsung dengan bantuan gravitasi ini tidak bisa berlangsung di luar angkasa, karena di sana tidak terdapat gravitasi.
Kondisi ini bukan hanya menjelaskan jawaban dari pertanyaan utama tadi, tapi juga menjadi tantangan sekaligus penjelasan bagi para ilmuwan luar angkasa untuk membuat beberapa bagian di pesawat luar angkasa harus tetap dingin, sedangkan bagian lain pada pesawat tetap memerlukan suhu panas agar tetap dapat berfungsi secara baik.
Pada April 2019, salah satu pesawat NASA yang dilengkapi dengan teknologi heat shield berhasil mendekat hingga 24 juta kilometer ke dalam atmosfer Matahari. Pesawat itupun menjadi pesawat pertama yang mampu mencapai jarak terdekat dengan Matahari.
KOMENTAR ANDA