Pada tahun 2016, kolega saya pernah membuat saya hampir menelan pisang goreng bulat-bulat ketika kami berbantah-bantahan mengenai mata kuliah Kritik Sastra yang rumit, pelajaran Kewirausahaan yang gak penting-penting amat, hingga bau badan seorang asisten dosen yang menusuk hidung karena menolak keras penggunaan deodoran. Kata Yuna, kawan saya dari Lampung, menyatakan bahwa orang Sunda itu pemalas. Alasannya pada saat tugas kelompok, anggota kelompoknya yang kebetulan orang Sunda itu selalu mangkir dan molor tenggat waktu bila ditagih tugas kelompok bagiannya.
Pada akhir tahun 2017, dosen pembimbing saya, Nana Suryana, pernah mengatakan hal yang serupa ketika usai mengajar BIPA untuk mahasiswa Tiongkok. Beliau dengan semangat mengatakan bahwa perkembangan mahasiswa Tiongkok itu mempelajari bahasa Indonesia sangat pesat ketimbang mahasiswa Indonesia mempelajari bahasa asing lain. Bahkan, mahasiswa Tiongkok itu pernah ditodong pertanyaan oleh dosen saya tentang kesan belajar di Indonesia, yang jawabannya cukup menodong balik: “waktu terasa lambat di sini.”
Irvan Karta, seorang dosen sekaligus komedian peserta SUCI 6, pernah menyatakan dalam materi komedinya: “gak ngapa-ngapain itu ada di DNA kita, orang-orang kita itu jago gak ngapa-ngapain”. Tentu pernyataan itu hanyalah materi komedi dengan kandungan majas yang hiperbolis, tetapi akan berbahaya sekali jika pernyataan itu hadir di dunia akademis.
Benarkah kita pemalas?
The New York Times, tahun 2012 pernah memuat pada kolom bisnisnya tentang metode pendekatan bisnis 7-Eleven di Indonesia yang berhasil. Pada kolom tersebut disebutkan seorang narasumber Indonesia, Oka Dharmawan, yang dituliskan setiap malam nongkrong wifi-an dan minum Slurpess. Selain itu, ada generalisasi bahwa orang Indonesia suka nongkrong dan bergosip di warung dengan sangat gamblang, “where the penchant or hanging out runs so deep that there is a word for sitting, talking, and generally doing nothing: nongkrong.”. Pada pandangan mereka, orang Indonesia pemalas dan kemalasan kita dapat dijadikan duit buat mereka.
Sementara itu, kolega saya, Kelana Wisnu Sapta—mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2015—membuat studi pustaka yang lebih jelimet tentang hubungan antara orang Indonesia dan kemalasan pada situs miliknya. Bersumber pada pustaka Priangan, De Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsh Bestuur tot karya F. Fr Haan, The Myth of Lazy Native karya Syed Hussein Alatas, dan beberapa pustaka lainnya, ia menyimpulkan bahwa citra pemalas bumiputera dikonstruksi oleh pemerintah kolonial karena enggan mengindahkan kebijakan Cultuurstelsel atau tanam paksa sehingga memaksa bumiputera untuk menyesuaikan diri dengan model kerja eropa. Oleh sebab itu, warisan kolonial stigma orang Sunda atau orang Indonesia pemalas itu langgeng hingga saat ini.
Lantas, bagaimana kita menyikapi kemalasan?
Dalam masyarakat Italia, ada falsafah hidup yang berbunyi La Dolce Far Niente yang bermakna the sweetness of doing nothing atau “seni tidak ngapa-ngapain”. Orang-orang Italia pada istirahat jam kerja lebih memilih pulang untuk tidur, duduk menikmati segelas kopi, atau bermanja-manjaan dengan istri di rumah. Meskipun terlihat tidak realistis tiba-tiba istirahat ketika jam kerja masih berlangsung, tapi kejadian itu nyata terjadi di Italia. Seni tidak ngapa-ngapain ini terpengaruh pada insting yang primordial dalam diri manusia, bukan oleh rutinitas, keharusan, atau keperluan. Seni tidak ngapa-ngapain ini memiliki metode yang mengajak kita untuk relaksasi menikmati hidup dengan kegiatan sehari-hari. Bagi masyarakat Italia, hal ini meningkatkan rasa bersyukur kita telah diberi kehidupan dan bentuk mengekspresikan kebahagiaan.
Veronique Vienne dalam bukunya yang berjudul The Art of Doing Nothing menawarkan pandangan yang lebih moderat. Vienne menawarkan gagasan agar tidak berpandangan dikotomis, bahwa kemalasan itu bukuk dan ketekunan itu baik. Ia memberikan analogi lampu lalu lintas untuk kehidupan manusia, yakni untuk berkegiatan produktif dan tidak produktif di waktu yang tepat. Keseimbangan ”do someting” dan ”do nothing” menurut Vienne adalah kunci untuk kehidupan yang bahagia.
Jadi, kemalasan itu perlu asal tidak berlebihan. Sir Issac Newton saja dapat inspirasi soal hukum gravitasi pas lagi ngaso selonjoran di bawah pohon apel dan Archimedes nemu hukum Archimedes pas lagi nyantuy mandi manja di kamar mandinya dengan teriakannya yang legendaris itu: "Eureka!"
KOMENTAR ANDA