Tulisan ini merupakan respons dan refleksi pribadi atas press release yang dikeluarkan oleh Aliansi Jurnalis Iindonesia (AJI) mengenai Mengembalikan Kepercayaan Publik Pada Jurnalisme yang diselenggarakan pada 26 Juni 2020.
Saya mulai berkecimpung di dunia jurnalistik sejak masih di menimba ilmu di perguruan tinggi. Berawal dari media kampus “FAKTUM”, lalu tahun 2000 saya magang di media lokal, Galamedia dan tahun 2001 masuk dalam jajaran anggota koran Suara Pembaruan.
Posisi saya pada saat itu adalah koresponden biro Bandung selama hampir lima tahun. Saat ini, saya sudah berkiprah di dunia jurnalistik selama dua dekade, saya cukup beruntung karena merasakan atmosfer kerja di media lokal, nasional, internasional baik itu cetak maupun kantor berita milik Jepang, JIJI PRESS dan saat ini saya mukim di Milan Italia dan menjadi freelancer dan kontributor Metro TV.
Selama dalam penggemblengan tugas kerja di JIJI Press, atasan saya, Tatzuya Mizumoto, yang berkebangsaan Jepang selalu memberikan wejangan, “Tugas jurnalistik pada dasarnya mengawal kinerja, membawa pembaca pada kebenaran, caranya cari narasumber paling kompeten dan informasinya valid, syukur-syukur eksklusif sehingga media lain belum tahu dan informasi dari kita selalu nomor satu."
Berbekal semangat kerja seperti itu, menurutnya, kami bisa meraih dua aspek yaitu mendapat kepercayaan publik pembaca dan pelanggan, aspek kedua, melibas pesaing yang sama-sama berusaha mendulang pasar di ceruk yang sama,
Menerapkan standar seperti ini sungguh penuh tantangan dan dibutuhkan mentalitas yang kokoh, selama bulan-bulan pertama, saya ditugaskan menjalin relasi dengan narasumber sambil mempertimbangkan apakah narasumber A bisa dipercaya atau tidak, informasinya menarik atau tidak dan sebagainya. Selain itu, juga harus sering ngobrol dan diskusi untuk mendapat latar belakan suatu kasus supaya bisa mendalami masalah yang sedang ditulis.
Soal eksklusivitas, caranya memang tak lain adalah kemampuan mendapat dan membangun jejaring informasi yang cepat dan terpercaya dan kedua: modal. Maksudnya modal ya dalam arti fasilitas, misalnya transportasi, alat komunikasi, sampai kalau perlu penerbangan kelas bisnis atau penginapan kelas bintang supaya saat konferensi kelas dunia yang dihadiri oleh para pemimpin negara, kita bisa menginap dalam hotel yang sama, supaya bisa doorstop minimal dengan lingkaran nomor satu. Sampai sejauh itu? Iya sampai sejauh itu.
Atasan saya kembali menyebutkan bahwa di Jepang, jurnalis dan media massa bisa mendapat respek dari pembaca dan masyarakat, karena mereka melihat kualitas kerja. Masih menurut bekas atasan saya itu, saat perjalanan ke kantor dengan menggunakan kereta, orang Jepang memilih membaca koran untuk mengisi waktu luang mereka. Ini yang membuat orang Jepang juga menjadi sangat pintar dan maju cara berpikirnya, karena mereka membaca dan dapat asupan informasi dan pengetahuan yang berkualitas.
Salah satu yang paling mengesankan bagi saya adalah saat meliput kasus infeksi bird flu yang terjadi sekitar tahun 2006 yang disebut sebagai kasus penyakit akibat animal to human transfer. Dalam kasus itu bos saya bolak-balik bertanya:
“Ini animal to human atau human to human transfer?” dan saya tanya atasan saya, kenapa sih penting banget informasi ini? Lalu jawabnya begini, "kalau animal to human transfer, maka masih bisa kita lacak jenis hewannya lalu kita cari dimana asal muasalnya dan hewan tersebut kita musnahkan, misalnya penyebabnya nyamuk, cacing, unggas atau mamalia domestik seperti sapi dan kambing, kita petakan kelompok hewan yang terinfeksi dan beresiko menyebabkan sakit pada hewan lain dan pada manusia, lalu kita musnahkan hewan tersebut. Tapi kalau human to human, artinya vektor penyakitnya adalah manusia, tentu kita tidak mungkin membunuh manusia yang terinfeksi, caranya ya cari jejaknya dan isolasi manusianya, hentikan kegiatannya, supaya tidak menulari yang lain dan syukur-syukur kita sembuhkan orang yang sakit tersebut,” ujarnya.
Selama menjalankan tugas liputan birdflu, memang disebutkan sempat terjadi human to human transfer namun karena sistem pelacakan dan isolasinya cepat, maka tidak sempat menjadi wabah yang masif seperti sekarang. Saya ingat, saat meliput bird flu, tiap hari mencatat peta-peta penyebaran dan melihat bagaimana pemerintah segera mengisolasi infeksi agar tidak segera menyebar.
Kami selalu dekat dengan pemerintah dan saat itu kementrian sangat terbuka dengan data dan informasi. Indonesia dinyatakan berhasil menangani wabah dan tidak masuk dalam skala pandemi. Empat belas tahun berlalu, tidak disangka, kasus flu human to human transffer akhirnya terjadi juga dengan biang virus SARS C0V2 yang menyebabkan Covid-19 dan kasus pertama tercatat di Wuhan, Cina.
Dalam pernyataan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) disebutkan, pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia saat ini mengubah perilaku jurnalis dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Mereka dihadapkan dengan beragam risiko, mulai dari risiko kesehatan, risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun risiko ketiadaan dana dalam membiayai liputannya.
AJI Jakarta memandang kondisi ini tidak menguntungkan jurnalis. Selain rentan terkena serangan Covid-19, jurnalis di Indonesia kini juga mendapatkan ancaman ‘kekerasan di ranah digital’ dari sekelompok orang yang tidak suka hasil karya mereka.
Kelompok orang yang tidak senang dengan karya jurnalistik melakukan perlawanan di media sosial. Mereka mendelegitimasi karya jurnalistik sebagai hoaks.
“Tak hanya ‘kekerasan di ranah digital’ dan sentimen, jurnalis di Indonesia juga mulai mendapat serangan yang bersifat struktural,” ungkap Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani, dalam diskusi webinar bertajuk “Memperkuat Legitimasi Jurnalis Saat Pandemi” pada Jumat, 26 Juni 2020.
Diskusi ini terselenggara atas kerja sama antara AJI Jakarta dan Remotivi yang didukung oleh Purpose, lembaga komunikasi yang fokus pada isu-isu sosial. Selain Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani, Peneliti Remotivi Roy Thaniago dan Peneliti Cek Fakta Tempo Ika Ningtyas juga menjadi pengisi diskusi secara daring (online) ini. Bertindak selaku moderator adalah Fanni Imaniar, News Anchor CNN Indonesia TV.
Berdasarkan data AJI Jakarta, kekerasan di ranah digital mulai dialami sejumlah jurnalis di Jakarta sejak 2018. Kekerasan semacam ini awalnya menimpa jurnalis Detikcom. Ia tak hanya mengalami doxing (penyerangan melalui informasi pribadi di internet), tapi juga mendapatkan ancaman pembunuhan.
“Kasus ini sudah diproses oleh Komite Keselamatan Jurnalis, di mana Dewan Pers dan sejumlah organisasi jurnalis ada di dalamnya, namun pelaku pengancaman tak diketahui hingga kini,” ungkap Asnil.
Kekerasan digital terhadap jurnalis mulai bergeser pada 2019, melalui teror psikologis yang membuat jurnalis tak bisa menjalankan tugasnya sebagai penyampai berita. Hal ini dialami oleh salah seorang wartawan Aljazeera saat meliput di Papua. Ini adalah persoalan serius, wartawan menjadi tak berani beraktivitas karena dibayang-bayangi ancaman.
“Doxing terhadap jurnalis ini dilakukan secara sistemik dan sistematis. Dilakukan oleh sebuah kelompok yang terorganisir, bukan oleh individu,” tegas Asnil.
Kasus terbaru menimpa wartawan Detikcom, yang diserang setelah menulis berita soal Presiden Jokowi yang akan membuka mal di Bekasi. Wartawan Detikcom mendapatkan ancaman pembunuhan. Sebelumnya, ia bahkan diteror dengan sejumlah makanan yang dikirimkan ke rumahnya melalui aplikasi ojek daring.
Asnil meminta pihak-pihak yang merasa ‘terganggu’ atau tidak puas dengan pemberitaan media, agar menempuh jalur-jalur yang telah diatur sesuai dengan Undang-undang Pers. Misalnya, melalui hak jawab, somasi atau mediasi di Dewan Pers.
Melawan hoaks
Peneliti Cek Fakta Tempo Ika Ningtyas mengungkapkan, sejak 2018 fenomena hoaks mulai marak di Indonesia. Hal ini, menurutnya, disebabkan oleh tingginya penetrasi internet yang tidak diimbangi dengan literasi yang memadai. “Cek Fakta muncul untuk memperkuat ruang redaksi agar mampu membedakan mana yang berita dan mana yang hoaks,” kata Ika.
Merebaknya fenomena hoaks ini disumbang oleh kegagapan jurnalis menghadapi tsunami informasi yang beredar liar di media sosial. Di sisi lain, kata Ika, jurnalis belum memiliki keterampilan yang mumpuni untuk memverifikasi informasi tersebut. “Cek Fakta membantu publik untuk mendapatkan informasi yang akurat terkait informasi yang viral di media sosial.”
Pada 2018-2019, hoaks yang banyak beredar di Indonesia adalah yang terkait dengan konten politik, sisanya isu kesehatan dan lain-lain. Namun sejak merebaknya pandemi Corona pada 2020, fenomena hoaks mulai terbagi. Isu kesehatan menjadi nomor satu, sisanya terkait isu yang lain.
Sejak awal Januari hingga Juni 2020, Cek Fakta Tempo berhasil memverifikasi sekitar 200 hoaks terkait Covid-19. “Kami akui jumlah ini sangat kecil dibandingkan jumlah hoaks yang beredar,” ucap Ika.
Ika menegaskan, kehadiran Cek Fakta di media sangat relevan dan dibutuhkan untuk membendung tsunami informasi yang beredar di media sosial. “Cek Fakta juga dibutuhkan untuk memverifikasi pernyataan dari otoritas yang tidak kredibel.”
Seiring dengan data diatas, jurnalis juga kerap merasakan intimidasi dari orang-orang terdekat, yang menganggap kerja jurnalistik adalah kerja “pesanan” atau kerja untuk membunuh karakter seseorang yang mereka puja tanpa memahami bahwa kerja jurnalistik bukan mengawal tokoh, tapi mengawal kinerja.
Intimidasi semacam hinaan melalui medsos baik itu pada status atau pada kolom komentar, semakin gencar dirasakan oleh saya pribadi, sejak isu Covid-19 mulai merebak.
Konflik informasi
Peneliti Remotivi Roy Thaniago mengungkapkan, yang terjadi kini adalah konflik informasi. Roy mencontohkan yang mendominasi saat ini adalah informasi tentang Covid-19. Permasalahannya adalah informasi tentang Covid-19 ini sulit dipahami orang banyak, karena informasi dikuasai oleh otoritas atau negara.
Negara memiliki rumah sakit dan infrastruktur informasi untuk saling berkirim pesan. Masalahnya adalah negara menutup-nutupi informasi tersebut. Di sinilah pentingnya peran media, untuk menyediakan apa yang tidak disediakan oleh negara. “Media berperan sebagai business of access. Media mampu mengakses sesuatu yang sehari-hari tidak bisa diakses oleh masyarakat,” jelas Roy.
Hal lain yang muncul adalah sentimen antimedia yang mulai masif, terutama dari kubu propemerintah. “Mereka melakukan apa saja untuk mendelegitimasi media. Bahkan hal ini dilakukan oleh akademisi di bidang komunikasi. Mereka sering membuat diksi-diksi yang bermasalah,” kata Roy.
Kasus doxing wartawan Detikcom yang menulis soal pembukaan mal di Bekasi, menurut Roy, adalah satu contoh bagaimana kelompok antimedia mendeligitimasi media. “Dengan begitu, mereka ingin informasi didominasi oleh negara. Padahal, cara-cara ini merusak demokrasi”.
Menurut Roy, kondisi ini diperburuk oleh para pendengung (buzzer) yang propemerintah. Roy menambahkan, daripada memperkuat para pendengung, lebih baik pemerintah memperkuat jurnalisme untuk menjamin demokrasi yang sehat.
Oleh sebab itu, Roy menegaskan, saat ini yang diperlukan adalah mengembalikan kepercayaan publik pada jurnalisme. Ketika kepercayaan pada jurnalisme memudar, maka kepercayaan publik akan runtuh.
“Hari ini belum ada pengganti yang lebih baik dari jurnalisme," tegas Roy.
Saya setuju sekali dengan semangat AJI Jakarta ini dan rekan-rekan sesama jurnalis, mari kita tegakkan prinsip jurnalisme yang sehat untuk demokrasi yang sehat.
Salam dari Milan, Italia.
KOMENTAR ANDA