Korea Selatan menghadapi rendahnya angka kelahiran. Dilansir dari Bloomberg yang mengutip data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), Korea Selatan menjadi negara dengan tingkat kelahiran paling rendah di tahun 2016 di kawasan Asia-Pasifik. Angka kelahiran di Korea Selatan turun drastis di tahun 2019 dengan penurunan hingga 7 persen dari tahun 2018.
Sebuah negara yang ingin mempertahankan populasi butuh sekitar 2,1 anak dari setiap perempuan. Sementara itu, Korea Selatan memiliki rata-rata kelahiran per perempuan hanya satu anak. Fenomena berkaitan erat dengan anak muda Korea Selatan yang semakin enggan untuk menikah dan membangun rumah tangga.
Sangyoub Park, seorang akademisi dari Jurusan Sosiologi, Wishburn University, merilis studi dalam Jurnal Context di tahun 2015 silam dengan tajuk A Silent Revolution in The Korean Family. Riset tersebut memperlihatkan rata-rata usia pernikahan perempuan dan laki-laki di Korea Selatan meningkat lima tahun sejak tahun 1990 hingga tahun 2013.
South China Morning Post juga melaporkan hasil survei dari Institut untuk Kesehatan dan Sosial Korea tahun 2015 yang menunjukkan 90 persen laki-laki dan 77 persen perempuan di rentang usia 25-29 tahun masih belum menikah. 56 persen populasi usia 30-34 tahun belum menikah dan 33 persen usia 40-45 belum menikah.
Sebagaimana di banyak kelompok masyarakat, budaya patriarki mengakar kuat di Korea Selatan. Seiring waktu, perempuan Korea Selatan semakin terdidik dan memilih untuk mengutaman karier dan pendidikan dibandingkan pernikahan.
Laporan berjudul Asia’s Lonely Heart dari Economist mengatakan, penurunan minat untuk menikah di wilayah Asia disebabkan oleh para perempuan yang sadar bahwa pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin di dalam sebuah rumah tangga sangat tidak setara dan selama ini perempuan menjadi pihak yang paling dirugikan.
“Jika diberi kesempatan hidup kedua, aku memilih melajang saja. Aku tidak sepenuhnya menyesali pernikahan. Tapi saya juga tak mau mengulanginya lagi. Saya akui, menikah dan menjadi yang sekaligus bekerja itu sangat sulit,” ujar Claire Lee, dikutip dari Korea Herald.
Alasan lain yang membuat minat anak muda Korea Selatan untuk menikah menurun drastis adalah biaya hidup yang tinggi. Dengan gaji yang pas-pasan, sewa tempat tinggal yang mahal, pernikahan menjadi hal yang menakutkan bagi anak muda yang baru saja merintis perjalanan kariernya.
Biaya pernikahan di Korea Selatan pun tidak murah. Biaya katering, sewa gedung, hadiah untuk mertua, dan kebutuhan lainnya seolah kian tak masuk akal dan mencekik anak muda yang penghasilannya tak seberapa. Dampaknya, sekitar 20 persen gedung pernikahan di Seoul bangkrut, termasuk gedung yang berada di kawasan kelas atas, Gangnam.
Melihat fenomena ini, pemerintah Korea Selatan menyusun strategi untuk meningkatkan kembali minat menikah di kalangan anak muda. Salah satunya adalah menggelar perjodohan yang dilakukan oleh pemerintah Kota Sejong, Gangnam, desa-desa di Provinsi Chungcheong Selatan. Bahkan, pemerintah Korea Selatan memberikan suntikan dana untuk pasangan yang baru saja memiliki anak.
Meski demikian, upaya yang dilakukan pemerintah Korea Selatan rupanya tidak membawa dampak yang signifikan. Gagasan bahwa menikah dan memiliki anak adalah kehidupan yang indah tak lagi diterima oleh banyak anak muda Korea Selatan. Pengalaman perempuan sebagai istri dan ibu dinilai sebagai keterisolasian yang enggan mereka langgengkan.
“Masalah terbesar pemerintah adalah mereka tidak mendengarkan para perempuan, pihak yang harus melahirkan anak-anak dan harus membesarkan mereka,” ujar Kang Han Byul, pendiri Elite Without Marriage, I am Going Forward (EMIF).
KOMENTAR ANDA