Hayooo apa masih ada di antara kalian yang masih suka menyebut pekerjaan rumah tangga sebagai “pekerjaan perempuan”? Mana ada pekerjaan itu berjenis kelamin? Memangnya menyapu, mencuci, mengepel, menyetrika, dan lain-lain itu punya vagina sehingga berjenis kelamin perempuan. Dan ingat ya, pekerjaan rumah tangga itu BUKAN kodrat.
Kodrat itu kan takdir dari Tuhan, masa iya Tuhan menakdirkan pekerjaan-pekerjaan tertentu hanya dilakukan oleh jenis kelamin tertentu. I don’t think so, right? So, be careful with the use of the word “kodrat”, okay?!
Pekerjaan rumah tangga (dan pekerjaan-pekerjaan yang lain) adalah persoalan pembiasaan dan juga latihan. Misalnya saja aku, sejak aku kecil, aku dan mamaku sudah berbagi berbagai pekerjaan rumah tangga (ya papa dan kakak laki-lakiku tidak ikut berbagi karena dalam hal ini keluargaku masih meyakini pembagian peran gender tradisional).
Di antara pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang ada aku memilih untuk mencuci piring, menyetrika, dan menjemur pakaian. Sementara mamaku mencuci baju, memasak, menyapu, dan mengepel. Untuk memasak aku kadang membantu tapi hanya preparation-nya saja seperti mengupas dan mengiris bahan-bahan yang mau dimasak. Tapi tidak pernah finishing-nya.
Begitu terus selama bertahun-tahun. Alhasil aku sangat ahli dalam mencuci piring, menyetrika, menjemur baju, dan mengupas serta memotong bahan masakan. Sementara setengah mati aku akan susah, lama, dan hasilnya tidak maksimal, serta tidak telaten kalau harus mencuci baju, menyapu, mengepel, dan memasak. Ya tentu saja, karena aku jarang melakukannya.
Ngomong-ngomong soal keahlianku menyetrika baju, pada suatu waktu dalam hidupku pernah sangat bermanfaat lho, yaitu ketika aku setahun tinggal di Hamburg, Jerman.
Pada waktu umurku 23 tahun, aku tinggal di Hamburg selama satu tahun bersama host family di sana.
Karena sudah menganggap host family sebagai real family, dengan senang hati aku menawarkan pada host family-ku untuk sedikit membantu pekerjaan rumah tangga, yaitu, yes apalagi kalau bukan mencuci piring, menyetrika, dan menjemur pakaian.
Host mother aku sangat terkagum-kagum dengan keahlianku menyetrika: cepat dan hasilnya sangat rapi dan halus. Diapun bercerita pada teman-teman dan tetangganya.
Alhasil beberapa orang menawariku untuk menyetrika baju-baju mereka dengan bayaran 10 euro per jam. Tentu saja aku mau, karena aku melakukannya dengan effortless banget dan sambil mendengarkan musik atau menonton TV. Saking senangnya orang-orang yang aku bantu setrika itu, sampai-sampai aku disuguhi berbagai macam makanan dan minuman di rumahnya. Karena di Jerman sudah ditemukan berbagai macam alat untuk membantu pekerjaan rumah tangga, kecuali setrika, hehehe.
Ketika aku menikah, thanks God, aku mendapatkan suami yang memang di keluarganya sudah dibiasakan melakukan pekerjaan rumah tangga sedari dia kecil. Jadi kalau ada yang berpikir karena aku aktivis isu gender maka suamiku jadi terbiasa berbagi pekerjaan rumah tangga, kalian salah besar! I didn’t do anything about it! Instead, aku harus berterima kasih pada ibu mertuaku dan bapak mertuaku yang sedari awal sudah membiasakan anak-anak laki-lakinya (dan juga anak perempuannya) untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, walaupun mungkin tanpa menggunakan istilah kesetaraan gender ya. They just did it, because it is a good thing!
Beruntungnya lagi, suamiku ini sangat ahli dalam pekerjaan rumah tangga menyapu, mengepel, dan memasak. Wow, itu kan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang aku susah banget melakukannya, cocok banget ya. Jadi sudah bisa ditebak lah ya, bagaimana pembagian pekerjaan tumah tangga di rumah kami, walaupun ya tidak sekaku itu.
Sementara untuk mencuci baju, karena kami berdua sama-sama tidak ahli alias tidak terbiasa melakukannya, maka pihak ketigalah yang melakukannya. Thanks God di Bantul laundry kiloan hanya 3.000 per kilonya.
Ketika mudik lebaran tahun lalu, aku tinggal kurang lebih 5 hari di rumah mertuaku. Dari sejak pagi, aku lihat adik iparku yang laki-laki sudah menyapu dan membersihkan rumah dan halaman, suamiku sudah beres-beres rumah, adik iparku yang perempuan mencuci baju, ibu mertuaku memasak, dan bapak mertuaku membuat kopi dan teh, kadang ikut memasak juga.
Semua melakukan pekerjaan rumah tangga dengan biasa saja, tanpa mempermasalahkan jenis kelamin. No wonder selama ini di rumah kami, suamiku juga biasa saja melakukan pekerjaan rumah tangga, tanpa disuruh sedikitpun. Kalau aku sedang keluar kota pun, aku bisa begitu saja meninggalkan rumah selama berhari-hari tanpa khawatir karena yakin kalau semua pekerjaan rumah tangga sudah akan di-handle oleh suamiku. No worry about that at all.
Melakukan pekerjaan rumah tangga sama sekali tidak membuat suamiku, bapak mertuaku, atau adik ipar laki-lakiku yang ketiganya berpenampilan sangat macho dengan bulu-bulu di wajah itu menjadi terlihat less man atau less masculine. Justru sebaliknya! Sangat berbeda dengan kakak laki-lakiku yang sejak kecil tidak dibiasakan melakukan pekerjaan rumah tangga, maka sampai sekarang pun dia tidak pernah melakukan pekerjaan rumah tangga, just like my father. Padahal keduanya (keluargaku dan keluarga suamiku) sama-sama keluarga Jawa.
Jadi dari ceritaku ini, semoga para orangtua yang membaca tulisanku tidak ragu-ragu lagi untuk membiasakan anak-anak laki-lakinya melakukan pekerjaan rumah tangga, pun sebaliknya membiasakan anak-anak perempuannya untuk membuat keputusan dan mengemukakan pendapatnya. Karena life skill itu akan mereka bawa hingga mereka dewasa nanti, dan akan menguntungkan diri mereka dan juga calon-calon menantu seperti aku, hihihi.
Wait, wait, terus apa dong yang dilakukan menantu seperti aku di rumah mertuaku? Coba tebak? Cuci piring dong! Hi h ihi, ketebak banget kan? Ya selain makan tentu saja, berkali-kali, he he he!
KOMENTAR ANDA