“Make it happen, make it in Makati”, demikian slogan kota besar bernama Manila. Makati hanya satu bagian kecil dari Manila, di mana gedung-gedung tinggi menjulang tertata begitu cantik.
Tapi Manila bukan hanya Makati, ada sudut-sudut lain yang mengingatkan saya dengan kota kelahiran saya, Jakarta. Jika teman-teman berkunjung ke Filipina, terutama ke Manila, pasti akan memiliki kesan yang sama dengan saya tentang kemiripannya dengan Jakarta.
Bukan hanya debu kota, knalpot kendaraan umum, berdesakan di commuter line, bahkan sampai karakter wajah memiliki banyak kemiripan.
Saya naik angkot kemana-mana meskipun tersedia layanan transportasi online. Saya haya menggunakan uber dari penginapan ke bandara, karena jauh lebih murah dibanding taksi.
Seperti di Jakarta, angkot-angkot ini ‘ngetem’ menunggu penumpang hampir penuh baru berangkat. Yang menarik adalah, di beberapa titik pusat kota, bukan hanya angkotnya yang antre, tetapi calon penumpang juga berdiri antre menunggu angkutan tertentu yang mungkin terbatas.
Ada tarif minimum, tapi jika jarak sedikit jauh, supir akan sebutkan berapa saya harus membayar. Angkot di Manila agak terbuka, sehingga jika udara panas, penumpang masih bisa merasakan hembusan angin.
Pasar tradisional di Manila juga seperti kebanyakan pasar tradisional di Jakarta. Meluber sampai ke jalur kendaraan. Komoditi yang dijual juga sama persis dari sayuran, buah-buahan, lauk pauk, sembako, barang pecah belah, pakaian, hingga sparepart elektronik.
Saya mampir ke pasar dan membeli dua potong kaus yang kalau dirupiahkan total hanya tiga puluh ribu rupiah saja. Saya juga membeli jajanan pasar sejenis mie rebus dan mangga potong dengan bumbu cabe garam. Anda familiar bukan dengan jajanan yang demikian?
Selain beberapa landmark kota yang wajib dikunjungi seperti Rizal Park, saya tertarik mengunjungi satu gereja tua di Taguig, tak jauh Manila, Saint Anne Parish. Menggunakan kereta, melewati pasar yang tadi saya sebutkan, ada jalan setapak menuju gereja ini.
St Anne dibangun tahun 1578 dan masih berdiri hingga saat ini. Bangunan tua bernuansa gelap yang sangat cantik. Ketika saya berkunjung, misa sedang diselenggarakan. Dengan banyak pintu masuk, jemaat yang penuh serta anak kecil yang berlarian, saya tidak bisa merasakan suasana peribadatan yang syahdu.
Di teras gereja, ada booth-booth yang menjual pernik-pernik peribadatan. Yang menarik adalah, ada aksi pemasangan poster di depan gereja menuntut pembebasan tahanan politik yang tengah ditahan oleh pemerintah Filipina. Saya melihat bagaimana gereja ini menjadi ruang terbuka bersama bagi setiap orang yang merasa menjadi bagian dari komunitas gereja.
Setiap malam, saya selalu datang ke pusat makanan tidak jauh dari penginapan. Tempatnya luas berbentuk segi empat, mungkin separuh lapangan sepak bola. Booth-booth makanan beraneka ragam berdiri di setiap sisinya. Di tengah-tengah disediakan meja dan kursi untuk sharing table.
Saya menemukan teman berbeda setiap malam. Jajanan favorit saya adalah sate dengan bumbu kuah asam. Sesekali saya menikmati sebotol bir yang saya minum dengan teman berbincang saya. Ada sebuah panggung dimana setiap malam pengunjung menikmati hiburan nyanyian dan tarian dari penyanyi yang erotis tapi dibungkus dengan komedi. Saya tidak yakin kita bisa punya pertunjukan yang demikian di tempat terbuka. Sebelum lagu usai, penyanyi akan turun panggung dan mulai meminta uang dari pengunjung.
Saya kira dari banyak tempat yang saya kunjungi, Manila adalah tempat yang tidak akan membuat saya homesick, karena rasanya yang sama. Saya beberapa kali ke Manila, dan rasanya selalu sama. Jadi Manila mungkin tidak masuk dalam daftar kota yang ingin saya kunjungi lagi dengan sengaja.
KOMENTAR ANDA