Salah satu dialog fenomenal dalam buku Pramoedya Ananta Toer, ada dalam 'Bumi Manusia': "Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya". Begitulah Pram meramu, meracik kata-kata, menjelmakannya dalam dialog dan cerita.
Nyai Ontosoroh, Anelis, dan Minke pada akhirnya harus kalah dalam sistem hukum kolonial yang diskriminatif dan menindas. Tapi (tentu saja) mereka telah melawan, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Kelak, di buku keempat tetralogi Pram, 'Rumah Kaca', Minke juga diceritakan 'kalah'.
Tapi semua pembaca tahu, Minke telah berjuang untuk bangsanya, semampu yang dia bisa, dengan kecerdasan yang sangat visioner (Bahkan, Pangemanann, tokoh antagonis dalam 'Rumah Kaca' digambarkan mengalami 'split' dalam dirinya sebagai Intel Belanda yang harus menjalankan tugas mengamati gerak-gerik Minke, tapi di sisi lain Pangemanann sangat kagum dan menghormati sosok dan perjuangan Minke).
Pram adalah satu-satunya sastrawan yang sejak Indonesia ada sampai saat ini, yang pernah menjadi kandidat kuat peraih nobel sastra dunia. Jika membaca karya-karyanya, levelnya memang kelas dunia. Salah satu ciri dari karya-karya Pram, adalah tokoh protagonis yang berkarakter kuat. Memiliki prinsip, filosofis, serta siap untuk berjuang. Banyak sekali cerita-cerita yang dihasilkannya adalah cerita pergulatan sang tokoh melawan penindasan. Termasuk dalam tetralogi pulau buru. Melawanlah, berjuanglah, meski kita tahu kita akan kalah.
Tapi kita telah berbuat semampu kita. Kita bukan bagian dari manusia-manusia yang oportunis, penakut, dan melempem, melainkan kita adalah bagian dari manusia-manusia pejuang yang berani, tangguh, dan memiliki nilai-nilai untuk diperjuangkan.
Mengacu pada fenomena sosial kebangsaan saat ini, maka persoalan karakter manusia-manusia Indonesia sangat relevan dan penting untuk dibahas.
Membangun Karakter
Knowledge is power, but character is more
Ada beberapa hal mengenai karakter manusia Indonesia yang perlu segera dibangunkan. Jangan sampai miskin karakter seperti yang akan diuraikan di bawah ini menjadi budaya manusia indonesia.
Miskin karakter memiliki beberapa ciri sebagai berikut:
Pertama, penakut. Termasuk untuk mengutarakan pendapatnya. Termasuk untuk memperjuangkan nilai-nilai kebaikan yang dianutnya.
Kedua, tidak percaya diri. Termasuk dalam membawa diri dalam pergaulan.
Ketiga, mengikuti kemana arah angin berhembus. Termasuk dalam hal pekerjaan dan bermasyarakat, sehingga akan mendukung siapa saja yang sekiranya akan menang atau berkuasa.
Keempat, pragmatis dan oportunis. Melihat segala sesuatunya dalam bingkai kaca mata 'untung-rugi' untuk diri sendiri. Bukan demi kepentingan bersama.
Keempat hal tersebut bisa berakibat fatal jika orang-orang tersebut memiliki peluang untuk berada pada jabatan publik. Akhirnya yang terjadi alih-alih pelayanan publik, atau memajukan kesejahteraan umum, yang ada malah memperkaya diri dan minta disanjung puja. Minta dilayani, minta dihargai dan ingin jadi prioritas dalam berkehidupan sosial.
Sebaliknya, beberapa hal mengenai karakter manusia Indonesia yang harus dibangunkan dan dimajukan, setidaknya sebagai berikut:
Pertama, manusia berprinsip. Prinsip yang dimaksud adalah memiliki nilai-nilai kebaikan untuk kepentingan orang banyak. Termasuk dalam hal ini adalah integrits dan dedikasi.
Kedua, manusia pemberani. Ini berarti siap untuk memperjuangkan nilai-nilai kebaikan yang dianut melalui argumen-argumen yang dikemukakan, serta melalui jalan hidup yang dipilih, meski itu adalah jalan sepi.
Ketiga, manusia berproses. Artinya percaya pada segala sesuatu membutuhkan proses, membutuhkan waktu, serta melalui jalan panjang berkelok dan mendaki. Ini berarti memiliki kesabaran dan tidak terprovokasi dengan segala sesuatu yang bersifat instan, yang sudah menjadi budaya kontemporer masyarakat kita dan dunia saat ini.
Keempat, manusia pembelajar. Manusia pembelajar memiliki sikap rendah hati untuk mendengarkan oran lain. Memiliki kerendahhatian untuk terus membaca, menggali, mengasah dan berdiskusi tentang ilmu dan pengetahuan.
Manusia-manusia pembelajar akan terus berproses, tiada henti. Dan, tentu saja, manusia pembelajar tidak akan bersikap sok tau, tidak akan bersikap 'tong kosong nyaring bunyinya'. Manusia pembelajar adalah penganut ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Rendah hati.
Pembangunan karakter merupakan kunci untuk mengatasi persoalan bangsa, secara strategis. Jalur potensial untuk melakukannya adalah melalui sektor pendidikan. Ini berarti pemerintah, kurikulum yang disusun, kepala sekolah, guru, dan budaya di sekolah tersebut harus peduli, mau dan mampu mewujudkan pembangunan karakter.
Meski hasilnya tidak instan, meski akan terus berproses terus-menerus. Meski hasilnya baru terlihat dua puluh tahun kemudian, sejak program pembangunan karakter diterapkan secara konsepsional, terintegtasi, terstruktur, sistematis, dan masif.
Pembangunan karakter, atau pendidikan karakter, adalah pekerjaan jangka panjang. Diperlukan kesabaran, konsistensi, dan kerjasama yang terintegrasi dari banyak pihak dan stakeholders.
Kita pasti mampu melakukannya. Tapi, apakah kita mau?
KOMENTAR ANDA