Ada hal menarik dalam film sekuel Ada Apa dengan Cinta 2. Yang menarik bukan tentang bagaimana akhirnya Rangga bisa menggaet hati Cinta maupun adegan ciuman Cinta dan Rangga, melainkan tentang hidup Rangga.
Rangga diceritakan hidup seorang diri di New York usai ayahnya meninggal. Hidupnya berantakan karena problem finansial. Satu-satunya sumber uang yang dimiliki Rangga, yakni dari ayahnya, telah tiada. Akibatnya, Rangga harus banting tulang mencari uang dengan kerja serabutan dan hutang sana-sini yang mengharuskan ia menunda kelulusan kuliahnya dan mengakhiri hubungan percintaannya. Akhirnya, setelah kerja keras sedemikian rupa, Rangga memiliki kehidupan yang mapan yakni membuka kedai kopi dan sebagai penulis lepas sebuah majalah di New York.
Kisah hidup Rangga yang serba susah dan tidak memiliki privilege, memikat hati saya. Saya merasakan hal yang demikian dalam hidup saya pada saat usia saya menjelang 22 tahun. Kegelisahan, kegamangan, bahkan kepanikan muncul di diri saya, membuat saya sering melamun memikirkan hidup. Lain lagi dengan kisah kawan perempuan saya, ia hampir setiap tiga hari seminggu dibuat menangis karena perasaan-perasaan tidak enak yang membuncah dalam dirinya.
Apa sebenarnya perasaan gelisah ini? Apakah hal ini hanya dialami oleh saya dan kawan perempuan saya?
Apa itu Quarter-Life Crisis?
Quarter-life crisis atau disebut juga dengan Mid-life crisis adalah problem psikologis yang dialami oleh orang-orang dalam rentang usia 20 sampai 30 tahun. Penelitian di LinkedIn tahun 2017 yang menyatakan bahwa 75 persen dari rentang usia 25-33 tahun mengalami quarter-life crisis, tetapi yang mengalami ini rata-rata usia 27 tahun.
Gejala quarter-life crisis berupa krisis emosional seperti perasaan gamang terhadap kehidupan, meragukan kemampuan diri, merasa tidak pantas, hingga ketidaknyamanan menjalani hidup. Psikolog klinis dari University of Southhampton, Alex Fowke, mendefinisikan quarter-life crisis adalah suatu masa seseorang mengalami insecure, keraguan, dan kekecewaan terhadap karier, hubungan, dan situasi finansial.
Apa Latar Belakangnya?
Problem psikologis ini dialami oleh seseorang dalam masa transisi tahap kehidupan dari fase remaja menuju fase dewasa. Perasaan-perasaan tersebut terjadi ketika seseorang akan memasuki fase dewasa, tetapi ada hal-hal yang belum selesai dilakukan pada fase remaja.
Faktor pertama yang menyebabkan quarter-life crisis adalah sikap tidak serius menyikapi mimpi dan sikap tidak memikirkam mimpi sama sekali. Orang yang tidak memikirkan mimpi sama sekali akan menghadapi kebingungan dalam menjalani hidup dan menentukan masa depannya, sehingga ia banyak menyesali perbuatannya di masa lalu.
Sementara itu, orang yang tidak serius menyikapi mimpi hanya dimabukan pikiran tentang hal-hal indah bila mencapai mimpi tersebut, tanpa memikirkan rencana yang dibutuhkan untuk mencapainya. Orang yang tidak serius menyikapi mimpinya akan menyimpang dari mimpinya karena merasa terlambat untuk dikejar, takut menghadapi risiko dalam mengejar mimpi itu, dan tidak yakin dengan mimpinya. Dampaknya, orang dengan tipe seperti ini terombang-ambing antara hal yang diinginkan tetapi tidak tercapai dan hal yang dicapai tetapi tidak diinginkan
Faktor kedua adalah sosial media. Penelitian yang dilakukan Nazir Hawi dan Maya Samaha, yang berjudul The Relations Among Social Media Addiction, Self-Esteem, and Life Satisfaction in University Students menyatakan bahwa ada hubungan kecanduan sosoail media dengan rasa menghargai diri dan kepuasan hidup pada mahasiswa. Penelitian ini menyatakan bahwa sosial media menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang dan kebahagiaan seseorang.
Faktor ketiga yakni adanya konflik kepentingan. Seseorang yang memiliki hobi, passion, dan keahlian tertentu mengalami tantangan mewujudkan mimpi idealnya oleh lingkungan sosial. Sebagai contoh, seorang fresh-graduate yang memiliki passion menjadi pengusaha ternak lele akan mengalami diskriminasi verbal berupa ledekan hingga cemoohan oleh lingkungan sosialnya yang menganggap seorang sarjana harus kerja kantoran. Tuntutan sosial, baik lingkungan masyarakat maupun lingkungan keluarga, menjadi sumber seseorang mengalami quarter-life crisis.
Apa Saja Fasenya?
Quarter-life crisis memiiki tiga fase, yakni fase pre-crisis, fase crisis, dan fase post-crisis. Ketiga fase yang dialami ini berbeda-beda rentang waktunya, tergantung kondisi psikis dan sikap kedewasaan orang tersebut menjalani hidup.
Fase pertama atau fase pre-crisis, adalah tahapan awal yang akan dialami seseorang ketika beranjak dewasa. Orang harus membuat aspek besar dalam hidup, mulai dari karier, pendidikan, hubungan percintaan, hingga urusan pribadi.
Sebagai contoh, seorang murid SMA harus menentukan ingin kuliah di mana, seorang fresh-gradute harus menentukan ingin berkarier di mana dan jenjang karier seperti apa yang ingin diambili, hingga seseorang dituntut untuk memiliki tabungan dan aset yang banyak untuk melamar seseorang. Kepanikan timbul akibat keharusan membuat keputusan hidup tersebut.
Fase kedua atau fase crisis, adalah tahapan selanjutnya yang akan dialami seseorang ketika telah mengambil keputusan hidup. Dalam fase ini, seseorang akan mengalami kegelisahan dan kekecewaan karena pilihan yang diterima tidak sesuai dengan harapan yang ia inginkan. Ia tidak memiliki karier yang diinginkan, pendidikan yang diharapkan, hingga kisah cinta dengan kekasih idaman.
Seseorang dalam tahap kedua ini, mempunyai dua pilihan untuk menyikapinya. Pilihan pertama adalah bersikap menyangkal atau denial. Orang yang memilih bersikap denial cenderung tidak menerima pilihan yang diterimanya. Ia akan terus mengalami kegelisahan karena berpura-pura semua baik-baik saja, semua sesuai rencana hidupnya. Sementara itu, pilihan kedua adalah bersikap antisipatif. Orang yang memilih seperti ini, akan mulai membuka dirinya pada pilihan yang ia terima.
Fase ketiga atau fase post-crisis, adalah tahapan terahir yang dialami seseorang yang mengalami quarter-life crisis. Tahap ini dapat ditempuh bila seseorang yang bersikap antisipatif telah menerima pilihan hidup yang ia terima. Orang yang berada dalam tahap ini akan mulai menata kembali rencana hidupnya yang tidak sesuai dengan mimpinya.
Demikian problem psikologis quarter-life crisis yang akan dan sedang dialami oleh generasi milenial. Problem ini harus kita hadapi dengan kondisi psikis dan sikap kedewasaan yang matang.
KOMENTAR ANDA