Magang dinilai sebagai upaya pengembangan karier. Meski demikian, magang kerap pula dianggaap sebagai cara untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah bahkan gratis. Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur ketentuan bahwa perusahaan harus memberikan uang saku dan transportasi bagi pekerja magang. Sayangnya, masih banyak perusahaan yang tidak memberikan upah pada pekerja magang.
Melalui wawancara dengan The Conversation, Kanti Pertiwi, Dosen Manajemen di Universitas Indonesia, mengatakan bahwa magang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan kesiapan mahasiswa sebelum terlibat langsung di dunia kerja.
“Tujuannya dari program magang itu sendiri tentu saja paling utama untuk bantu mahasiswa terkait kesiapan kerja supaya lebih employable. Itu kata kuncinya,” ujar Kanti, dikutip dari The Conversation.
Selain itu, Christiani Ajeng Rianti, Kepala Hubunggan Masyarakat di Universitas Katolik Atma Jaya, berpendapat bahwa magang bermanfaat bagi universitas dan industri. Menurut Ajeng, melalui magang mahasiswa akan belajar praktik di dunia industri dan perusahaan akan melihat peluang dan potensi dari mahasiswa yang terlibat kerja magang.
“Menurut saya, isunya bukan masalah digaji atau nggak tapi berapa banyak perusahaan yang memperlakukan magang itu sebagai ajang pencarian talenta, bukan seperti pesuruh yang mengerjakan hal remeh seperti sekadar memfotokopi,” tuturnya.
Lanjut Ajeng, kompensasi dari kerja magang tidak selalu dalam bentuk uang. Baginya, kesempatan untuk mempraktikkan keilmuan serta membangun jaringan sebelum masuk ke dunia kerja adalah reward.
Meski demikian, Ajeng menyayangkan program magang yang tidak menawarkan upah pada pekerjanya. Hal ini bisa menimbulkan kesenjangan pada mereka yang berdomisili di luar Jakarta dan kawasan industri lainnya. Sebagai solusi, Ajeng menyarankan agar perusahaan memberikan “tebusan” untuk pekerja magang dengan cara mengadakan program magang yang benar-benar memberikan manfaat.
Berbeda dengan Ajeng, Kanti tetap berpendapat bahwa perusahaan harus memberikan upah bagi pekerja magang. Pasalnya, mahasiswa yang mengikuti program magang tetap diberdayakan sebagai pekerja. Menurut Kanti, program magang tanpa upah tidak seharusnya dilanggengkan.
Mengingat pekerja magang untuk keperluan akademisi tidak masuk dalam definisi magang dalam UU Ketenagakerjaan, maka pekerja magang pun tidak memiliki daya tawar yang tinggi. Hal ini tentu saja menempatkan mereka dalam posisi yang rentan untuk dieksploitasi.
Baik Kanti maupun Ajeng, mengharapkan agar perusahaan-perusahaan lebih menghargai pekerja magang dan memperlakukan mereka selayaknya pekerja lainnya. Ajeng mengatakan, perusahaan harus mengubah pola pikirnya dalam menilai pekerja magang. Pekerja magang tidak boleh dipandang sebagai tenaga kerja gratis, melainkan potensi dan talenta baru yang nantinya bisa menjadi aset perusahaan.
KOMENTAR ANDA