Menjaga kebersihan kodratnya adalah perilaku yang baik. Kebersihan menjauhkan kita dari kuman sumber penyakit dan binatang yang menjijikan. Kebersihan erat sekali hubungannya dengan kesehatan. Akan tetapi, bagaimana jika kebersihan rupanya menjelma menjadi obsesi?
Nah, begitulah kesan yang akan didapatkan setelah membaca cerpen “Orang yang Selalu Cuci Tangan” karya Seno Gumira Ajidarma. Tokoh yang diceritakan dalam cerpen ini memiliki kebiasaan aneh untuk selalu menjaga kebersihan dalam bentuk mencuci tangan.
Tentu saja ada pikiran iseng dan tidak penting mampir di kepala saya, semisal kenapa Seno tidak memilih kebiasaan mencuci anggota tubuh yang lain, misalnya “Cuci Kaki” atau “Cuci Wajah” untuk karakternya. Rupanya, setelah selidik punya selidik, apalagi setelah pandemi Covid-19 ini, tangan adalah anggota tubuh yang paling sering berinteraksi dengan benda-benda di sekeliling kita. Benda itu bisa berupa benda mati seperti besi pada tangga, atau bias berupa benda hidup seperti berjabat tangan dengan manusia lain. Jarang ada yang bertukar salam menggunakan kaki, pergi ke mana-mana nyeker, atau laki-laki yang cipika-cipiki.
Tokoh dalam cerpen ini digambarkan selalu merasa tangannya kotor. Itulah alasannya ia selalu mencuci tangannya. Cuci tangan adalah cara tokoh membersihkan dirinya dari tangan kotor. Berikut kutipannya.
Tentu ia sendiri tidak tahu jika dirinya mendapat julukan seperti itu, ia hanya tahu dirinya selalu merasa tangannya kotor, dan setiap kali ia merasa tangannya kotor, dan setiap kali ia merasa tangannya kotor ia selalu merasa harus cuci tangan di wastafel.
Tokoh dalam cerpen ini selalu mencuci tangannya melebihi kebiasaan secara umum. Jarang sekali tokoh diceritakan membersihkan tangannya menggunakan disinfektan atau hand sanitizer. Selalu air. Dan saya yakin, tokoh ini dibuat Seno pasti ada maksudnya yang tersirat nan terselubung.
Bahasa Indonesia banyak mengenal idiom yang berkaitan dengan tangan. Sebagai contoh, idiom “ringan tangan” yang artinya sikap senang membantu, “panjang tangan” yang artinya sikap suka mencuri, “angkat tangan” yang artinya sikap menyerah, dan sebagainya. Nah, “cuci tangan” tidak ada dalam idiom bahasa Indonesia. Akan tetapi, menarik bahwa Seno memilih kegiatan “cuci tangan” ketimbang cuci yang lain. Diksi “tangan” dipilih karena dalam idiom bahasa Indonesia, “tangan” merepresentasikan sebuah sikap atau perilaku.
Lantas apa hubungannya dengan “cuci”? Oh, tentu ada. Cuci dalam kamus bahasa Indonesia memiliki makna untuk membersihkan sesuatu secara konkret, secara nyata. Kegiatan mencuci dapat kita inderai misal kita melihat orang sedang mencuci pakaian, begitu juga dengan mencuci tangan. Dari diksi “cuci tangan” saja kita dapat gabungan makna berupa membersihkan sikap. Sikap yang bagaimana? Ya tentu, yang kelihatan sehingga menimbulkan citraan di benak orang.
Pertanyaan selanjutnya, dan barangkali kita dapat menduganya adalah, siapa yang biasa mencuci tangan? Seno nampaknya lebih memilih untuk menjelaskannya dengan gamblang kepada pembaca sebagaimana terdapat dalam kutipan berikut.
Wajah yang selalu muncul di koran dan televisi, wajah yang selalu dijaganya agar selalu tampak terhormat, amat sangat terhormat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih terhormat. Demi kehormatan wajah itulah ia telah selalu mencuci tangannya, karena dalam pikirannya, tangan yang kotor akan mempengaruhi pandangan orang banyak terhadap wajahnya.
Ketahuan, bukan? Orang yang selalu kelihatan terhormat adalah anggota dewan terhormat, sebagaimana sering muncul dalam teater atau pembacaan puisi. Profesi demikian membutuhkan citra yang terhormat agar orang-orang mengakui bahwa dirinya memang pantas dihormati. Sebab itulah, bila ada sedikit isu tidak baik mengenai dirinya, orang itu akan panik dan selalu ingin membersihkan citranya.
Kemudian perhatikanlah kutipan berikut.
Sementara itu, ia masih terus melakukan pekerjaan kotor. Mulai dari yang betul-betul kotor, sampai yang seolah-olah tidak kotor.
Kutipan di atas menjelaskan bahwa si tokoh melakukan pekerjaan kotor, tetapi tidak dijelaskan apa pekerjaan kotornya. Pekerjaan kotor yang dilakukan tokoh mungkin saja berupa korupsi, cuci uang, gratifikasi, dan lain-lain. Pekerjaan kotor merupakan tindakan yang salah berdasarkan etika dan menyalahi aturan, sehingga menghalalkan segala cara untuk menggapai tujuannya.
Hal yang menarik terjadi pada klimaks cerita. Si tokoh merasa bahwa air yang digunakan untuk mencuci tangan menjadi kotor dan keruh. Berikut kutipannya.
Pada suatu hari, ketika ia mencuci tangan di wastafel, air yang mengucur dari kran dalam pandangan matanya agak kecoklatan.
Kutipan tersebut menceritakan kebingungan si tokoh karena sarana yang dipakai untuk cuci tangan ikut kotor. Hal ini adalah alegori yang menyiratkan makna bahwa sarana yang dipakai si tokoh dalam membersihkan citranya adalah metode atau cara yang kotor. Cara itu dapat berupa mengkambinghitamkan orang lain, menghasut dua pihak, memfitnah, hingga membunuh. Uraian ini di dukung kutipan selanjutnya yang menjelaskan secara tersurat bahwa pekerjaan tokoh adalah pekerjaan kotor yang menumpahkan darah, bisa saja membunuh.
Suatu kali, ketika pekerjaan kotornya menumpahkan darah, kran itu pun mengucurkan darah.
Cerpen ini memiliki alur yang mudah diikuti. Adapun cerpen yang berjudul “Orang yang Selalu Cuci Tangan” karya Seno Gumira Ajidarma, menurut saya, memiliki perumpamaan-perumpamaan yang tidak sulit ditebak maksudnya mengingat latar belakang Seno sebagai jurnalis progresif era Orde Baru.
Diksi yang digunakan adalah kata-kata yang akrab dengan keseharian, tetapi memiliki maksud makna tertentu. Misalnya kata “cuci tangan” yang diuraikan sebelumnya. Pada akhir cerpen juga ada sesuatu yang klise dengan endingnya. Namun, sudah kebiasaan Seno membuat cerpen dengan “open ending” agar pembaca dapat menebak sendiri endingnya.
KOMENTAR ANDA