Penjara terberat, terkejam dan terlama bukan berada di dalam sel penjara. Melainkan berada di dalam hati dan pikiran manusia. Penjara terberat, terkejam dan terlama, ada pada siapa saja yang hati dan pikirannya tertutup. Yang hati dan pikirannya dia penjarakan sendiri dari dunia luar, berbagai kemungkinan, harapan, imajinasi, pengetahuan, semangat, dan keyakinan.
Banyak sekali contoh bagaimana mereka yang dipenjara tapi hati dan pikirannya tetap merdeka. Bahkan banyak yang melahirkan magnum opus saat fisik mereka dipenjara.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), dipenjara saat pemerintah Orde Lama berkuasa. Dari dalam sel, Hamka melahirkan Tafsir Al-Azhar. Pramoedya Ananta Toer, dibuang ke Pulau Buru oleh rezim Orde Baru. Dari tempat pembuangan itu, Pram melahirkan tetralogi yang sangat terkenal: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Pada era kolonial, Soekarno di penjara di Banceuy, Bandung. Sebuah penjara yang kumuh, untuk para tahanan kelas bawah. Di Banceuy, Soekarno menempati sel nomor 5 yang sangat sempit. Mental Soekarno memang sempat runtuh. Tapi, di sini pula, lahir pledoi "Indonesia Menggugat" yang berpengaruh itu.
Nelson Mandela di penjara. Gandhi dipenjara. Tapi semangat dan keyakinan mereka tak pernah dapat diberangus, tak pernah dapat dibungkam, tak pernah dapat dipenjarakan. Pengaruh dan suara mereka malahan semakin besar dan semakin lantang. Pesona dan kharisma mereka semakin berkilau. Ketokohan mereka semakin kokoh.
Penjara terkejam dan terlama bukan di pulau pengasingan. Bukan di dalam sel yang sangat sempit. Penjara terkejam ada di dalam pikiran. Penjara terkejam ada di dalam hati. Pikiran dan hati yang sempit, pikiran dan hati yang menutup diri, pikiran dan hati yang culas, yang dendam, yang kerdil, yang licik, yang sirik, adalah penjara. Berapa lama penjara itu berlangsung? Bisa seumur hidup.
Berpikir dan Berhati Merdeka
Berpikir merdeka berarti terus menyalakan obor pengetahuan, obor kesadaran di dalam diri. Berhati merdeka berarti terus menyalakan api semangat dan keyakinan dalam hal kebaikan, di dalam diri. Tiada yang bisa merenggut apa pun, dari siapa pun, selama orang-orang tersebut berpikir dan berhati merdeka. Tugas para pejuang, sejak ribuan tahun lalu sampai tahun-tahun berikutnya, adalah menyalakan obor pengetahuan, kesadaran, semangat dan keyakinan dalam kebaikan, kepada sebanyak-banyaknya orang, dengan sebaik-baiknya.
Berpikir dan berhati merdeka, itu pula yang saat ini diperlukan oleh anak-anak bangsa.
Ini sesuai dengan lirik lagu Indonesia Raya dalam stanza 2:
Suburlah tanahnya.
Suburlah jiwanya.
Bangsanya, rakyatnya, semuanya.
Sadarlah hatinya.
Sadarlah budinya.
Untuk Indonesia Raya.
75 tahun sudah usia kemerdekaan. Harusnya, sudah matang dalam berbangsa dan bernegara. Harusnya, sudah selesai dalam hal yang bersifat "ego". Harusnya, sudah bisa menjadikan perbedaan menjadi aset untuk menjadi bangsa yang maju.
75 tahun usia kemerdekaan. Tapi kok malah hobi "gaduh" dengan saudara sendiri hanya karena beda pandangan politik? Pun, seringkali malah menjurus pada ad hominem. Apakah hanya karena ingin dianggap "benar" atau "pintar"? Sampai-sampai persaudaraan, persahabatan menjadi putus. Alih-alih turut serta memajukan bangsa dan bernegara, yang ada malah turut membuat retak persaudaraan. Membuat retak persatuan. Berpikir dan berhati merdeka, tentu bukan itu. Sama sekali bukan itu.... :(
75 tahun sudah usia republik ini merdeka. Apakah manusia-manusianya juga sudah berpikir dan berhati merdeka?
Manusia Indonesia yang berpikir dan berhati merdeka, sepertinya masih memerlukan puluhan tahun lagi untuk menuai hasilnya, itu pun jika disadari sejak sekarang, dimulai dari sekarang, dan berada pada track yang benar.
"Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri"
(Soekarno)
KOMENTAR ANDA