Media sebagai penyedia informasi dan berita dituntut untuk menyajikan berita faktual. Pada era informatika, tidak hanya faktual, berita juga dituntut untuk selalu terbarukan.
Akan tetapi, hal ini memberikan problem baru dalam kualitas pembuatan berita. Salah satu problem tersebut ada pada bidang bahasa.
Acap kali narasumber yang diwawancarai menggunakan bahasa verbal dengan gramatikal yang semrawut. Selain itu, beberapa narasumber juga sering menggunakan istilah baru yang membuat teknis pembuatan berita mengalami kendala.
Sebagai contoh, narasumber dengan latar belakang politik sering menggunakan kata-kata yang memutar-mutar secara semantis. Dampaknya, media harus cermat dalam memilih diksi agar tidak menimbulkan makna lain yang tidak diinginkan.
Selain itu, narasumber yang tidak memiliki latar belakang akademik sering menggunakan bahasa yang tidak jelas maknanya. Hal ini berpengaruh pada logika bahasa yang diperlukan untuk menyaring informasi pada pembuatan berita.
Lain halnya dengan narasumber artis. Mereka senang menggunakan kosa kata bahasa Inggris yang menyebabkan media secara tidak sadar membuat tulisan dengan kosa kata bahasa Inggris pula.
Kebiasaan yang Membudaya
Pinjaman kata dari bahasa Inggris yang digunakan oleh narasumber ditulis ulang oleh media. Dampaknya, masyarakat sebagai konsumen berita menerima informasi kata tersebut dan menggunakannya di kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh, narasumber artis menggunakan istilah download, gadget, dan netizen. Istilah tersebut dipopularkan oleh media dan laku digunakan oleh masyarakat.
Hal ini bagi para pemerhati bahasa sekaligus polisi bahasa membuat mereka gatal untuk mengkritik. Mereka tidak setuju atas sikap media yang menggunakan istilah asing sebagai bentuk sikap tidak menghargai bahasa sendiri.
Menurut pemerhati bahasa, media sebagai pelopor dan penghubung harus menyajikan berita dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai kaidah. Dengan demikian, bagi mereka sebuah berita dapat dianggap berkualitas.
Dilema Media
Sementara itu, media era informatika bergantung pada kebiasaan masyarakat dalam menggunakan internet. Masyarakat yang sudah terlanjur akrab kosa kata serapan yang salah berdampak pada algoritma mesin pencari.
Sebagai contoh, masyarakat telah biasa menggunakan kata “ramadhan” dan menuliskan kata tersebut dalam mesin pencari. Hal ini mengharuskan media menuliskan kata “ramadhan”, ketimbang kata “ramadan” dalam mesin pencari.
Media menggunakan kosa kata tersebut karena mesin pencari akan bekerja sesuai dengan algoritma yang diketikan oleh masyarakat. Media tertentu akan kesulitan beritanya dikonsumsi bila membuat berita yang memuat kosa kata yang tidak akrab dengan masyarakat.
Dilema antara menggunakan kaidah bahasa yang benar sesuai PUEBI dengan kepentingan algoritma yang dibutuhkan media agar beritanya dikonsumsi akan terus terjadi. Problem ini harus segera diatasi bersama dengan naungan dewan pers agar berita yang lahir kemudian hari dapat memiliki kualitas bahasa yang baik.
KOMENTAR ANDA